Selasa, 18 September 2012

SAHABAT MENJADI CINTA (Oleh: Erick M. Sila)

Di keheningan malam nan sepi bertabur bintang, di sebuah bilik sempit dan sederhana penuh kedamaian, sang penyair tengah memainkan penanya di atas sehelai kertas. Kata demi kata dirangkainya menjadi satu kesatuan yang utuh penuh makna. Menggoreskan pikiran-pikiran cerdas nan kratif. Serasa menyesal seumur hidup bila ditinggalkan, namun bila dinikmati terasah indah di hati dan permai di kalbu. Sang penyair muda belum beranjak dari tempat duduknya. Ia tidak mau bekerja setengah hati. Lagi dan lagi, kalimat demi kalimat dirangkainya dengan kata-kata pilihan. Di hadapannya dibentangkannya ilusi dan pengalaman sebagai pedomannya. Ia tentu tidak ingin bernyanyi semerdu putri-putri kayangan, jika itu tidak ia dendangkan dengan cinta. Tampaknya sang penyair muda tengah berpikir keras. Dengan menggunakan sedikit imajinasi, ia mencoba menghadirkan kembali pengalaman-pengalaman hidupnya yang telah lama “terkubur”. Setelah beberapa menit menerawang jauh, ia kembali menulis lagi. Jarum jam telah menunjukkan pukul 01.35 WIB. Pikirannya masih menerawang jauh untuk menghadirkannya secara kratif dalam selembar kertas. Saat itu, George teringat akan sahabat kecilnya, Echy semasa ia masih kanak-kanak dulu. Mereka sangat akrab bahkan tak dapat terpisahkan lagi. Yang satu akan menangis kepada ibunya jika sehari saja ia tidak melihat dan bermain bersama sahabatnya. Setiap hari mereka menghabiskan waktu dengan bermain bersama. Tempat bermain yang paling disenangi oleh mereka berdua adalah di pantai, yang jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Membuat gundukan menyerupai gunung, jembatan dan rumah-rumahan dengan pasir adalah jenis permainan kesukaan mereka. Terkadang mereka lupa makan karena terlalu keasyikan bermain. Di tengah hamparan pasir putih nan luas dan di bawa rimbunan pohon lontar yang sejuk itulah mereka menghabiskan masa kanak-kanak mereka.
Bulan berlalu tahun pun berganti. Usia mereka pun semakin hari semakin bertambah. Itu berarti bahwa mereka harus meninggalkan masa kanak-kanaknya dan memasuki masa sekolah. Ketika genap berusia 5 tahun, mereka berdua akhirnya didaftarkan bersama oleh kedua orang tua mereka pada sebuah Sekolah Dasar Negeri terdekat. Setiap pagi dan siang, mereka harus diantar dan dijemput oleh orang tua mereka. Akan tetapi, ketika mereka sudah di bangku kelas II SD, mereka sudah bisa pergi dan pulang tanpa dijemput. Mereka tampak senang dan bahagia dikala bersama. Enam tahun telah berlalu, mereka berdua akhirnya menyelesaikan bangku SD dengan baik. Mereka lulus dengan hasil yang membanggakan. Orang tua mereka juga ikut senang dan bahagia melihat kesuksesan keduanya. Kini tiba saatnya bagi mereka untuk menanggalkan seragam putih merah dang siap mengenakan seragam putih biru. Mereka juga harus siap dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, teman baru, suasana baru dan sebagainya. Akhirnya, masa SMP pun mereka lalui dengan mulus dan mantap tanpa tantangan yang berarti. Semuanya berjalan dengan lancar termasuk persahabatan di antara mereka. Hubungan persahabatan antara George dan Echy semakin hari semakin akrab ketika mereka sudah di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ke sekolah, perpustakaan, ke danau Telaga Biru dan ke mall pun mereka selalu bersama. Suatu saat ketika mereka sedang menikmati minuman segar dan udara sejuk di sebuah sudut taman rekreasi, entah mengapa mata mereka tiba-tiba saling berpapasan. Sebuah tatapan yang sungguh berbeda dari yang biasanya. Suasana yang ramai penuh canda, tiba-tiba berubah menjadi bisu. Kebisuan itu terjadi oleh karena satu tatapan yang tak terhindarkan itu. “Eh… habiskan minumannya bang, sudah jam 16.45 ini”. Kata Echy menyadarkan George dari lamunannya. “Oh… iya dik. Jawab George dengan nada sedikit gugup. Entah mengapa, George tiba-tiba merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Apakah aku jatuh cinta kepada Echy yang telah aku anggap sebagai adikku sendiri? Apakah Echy akan marah jika aku mengungkapkan perasaan ini kepadanya? Ataukah ia juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan saat ini? Tanya Gerorge dalam hatinya. “Aku yakin ada benih-benih cinta itu diantara hatiku dan hatimu Echy. Kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri. Itu tampak dari kejadian yang baru saja terjadi. Suatu tatapan yang penuh makna. Mungkin sekarang bukanlah waktu yang tepat bagiku untuk mengatakannya”. Pikir George meyakinkan dirinya. Hari berikutnya setelah pulang sekolah, George mengajak Echy untuk menemuinya di bangku taman di bawah pohon basar di pinggir danau Telaga Biru. Tempat itu adalah tempat penuh kenangan. George dan Echy biasanya ke sini tatkala satu di antara mereka lagi sedih, ataupun gembira ketika salah satu di antara mereka memdapat kado dari orang tuanya. Di tempat inilah mereka saling berbagi, baik suka maupun duka. Di tempat ini jugalah George meminta Echy untuk menemuainya jam 15.00 WIB nanti sore. Waktu berlalu begitu cepat. Akhirnya, jam yang telah disepakati bersama tinggal beberapa menit lagi. Echy buru-buru karena ia tak mau mengecewakan George. Namun rupanya George belum tiba di taman itu ketika Echy tiba. George muncul setelah Echy menunggu hampir sepuluh menit. “Echy…”! seru George begitu melihat Echy yang glisah mencari-cari sesuatu. Echy berpaling ke arah datangnya suara. Echy tersenyum ketika melihat George datang. “Sudah lama menunggu?” tanya George. “Ah, Tidak. Setelah mengerjakan PR aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut George sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Echy. George mengambil tempat duduk tepat di samping Echy. Memang bangku yang yang tesedia hanya untuk dua orang. Di bawah pohon besar yang rindang dan pemandangan alam di sekitar danau yang indah menjadikan suasana semakin akrab. Keduanya pun ngobrol diselingi canda Echy yang penuh dengan daya pikat tersendiri. “Echy…”. George memecah kesunyian di antara mereka. “Ya?” “Aku aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Untuk itulah aku mengajakmu ke sini”. “Tentang apa?” “Tapi aku takut kamu marah padaku, aku tidak mau persahabatan yang telah bertahun- tahun kita bina bersama menjadi rusak oleh karena satu hal ini”. “Tentang apa Geoge, aku nggak marah kok…”. Kata Echy meyakinkan hati George. “Tapi kamu harus janji padaku. Kamu harus janji bahwa kamu tidak akan marah jika aku mengatakannya kepadamu”. “Ok… George, aku janji. Pohon besar dan danau Telaga Biru inilah yang menjadi saksinya”.
“Aku mencintaimu Echy”. Ungkap George dengan suara agak serak. “Kamu serius…?” tanya Echy dengan suara sedikit gemetar. “Ya…, aku serius. Aku mencintaimu. Aku ingin kamu menjadi sahabat dan milikku selamanya. Aku tidak mau kamu akhirnya menjadi milik orang lain. Kamu mau kan…???” tanya George. “Rian, sesungguhya aku juga merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan. Tetapi tidak mungkin aku yang mendahuluinya. Aku sadar bahwa kamu bahkan telah menganggapku sebagai adik kandungmu sendiri. Tetapi, aku tidak bisa menahan rasa ini. Aku ingin hubungan kita menjadi jelas seperti apa yang kamu inginkan saat ini. Apa yang menjadi inginmu adalah inginku juga, dan apa yang menjadi harapanmu, itu juga harapanku. Aku juga mencintaimu George”. “Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”. Kata George kepada Echy. “Kenapa?” “Karena akhiranya aku benar-benar mendapatkan bintang yang selama ini ku jaga”. “Aku juga…” “Kenapa..?” “Karena akhirnya aku pun seutuhnya menemukan matahari kehidupan yang selama ini menyinariku. Yang jelas, selama bertahun-tahun kita bersama, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “Aku juga…”. Balas George dengan perasaan senang. Akhirnya persahabatan yang telah bertahun-tahun dibina oleh George dan Echy, dimeteraikan di atas hamparan danau Telaga Biru nan luas membentang. Danau Telaga Biru menjadi saksi bisu kisah cinta ini. Jam Backer tiba-tiba berdering. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Kisah cinta dan persahabatan yang tidak akan pernah terlupakan itu akhirnya harus berakhir di sini. Sang penyair muda akhirnya menutup kisahnya dengan rasa puas. Terima kasih sahabat, terima kasih cinta. (E76).

Jumat, 07 September 2012

WAKTU TELAH MENJAWABNYA : Oleh: Erick M. Sila

Entah mengapa, malam itu aku ingin sekali mengabadikan sebuah kisah CINTA yang terjadi 8 tahun yang lalu. Sebelum aku melanjutkan cerita ini, ijinkan aku untuk mengisakannya atas nama kejujuran dan ketulusan. Kisah ini adalah sebuah ilusi di balik fakta. Aku yakin kisah ini akan menyentuh hati siapa saja yang membacanya. Apalagi kisah ini persis sama dengan pengalaman CINTAnya. Kecuali ia benar-benar tidak mempunyai hati lagi. Kisah ini bukanlah pelajaran tentang filsafat CINTA. Tetapi apa boleh buat. Itulah konsekuensinya bila seorang filsuf muda yang bercerita. Dalam kisah ini, aku akan mengajak kita semua untuk bermain dalam satu kata yaitu: CINTA. Kata filsuf: “Bermailah dalam permainan tetapi janganlah bermain-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidak sungguhannya. Sehingga permainan yang dipersungguh, tidaklah sungguh lagi. Mainlah dengan Eros, tetapi janganlah mau dipermainkan Eros. Mainlah dengan Agon, tetapi janganlah mau dipermainkan Agon. Tetapi tentang Agape, janganlah main-main! Bermainlah dengan sungguh-sungguh. Barang siapa mempermainkan permainan, akan menjadi permainan-permainan. Bermainlah untuk bahagia, tetapi janganlah mempermainkan bahagia”. Demikian juga dengan CINTA. KIsahnya demikian: Pada suatu ketika, aku tidak tahu entah mengapa kami harus bertemu. Dalam pertemuan yang singkat itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatiku. Setiap saat, aku ingin sekali melihat senyumannya yang manis dan tatapan matanya yang teduh. Aku merasakan getaran ini semakin hebat dalam diriku. Apakah aku jatuh CINTA? Mungkin. Saat itu aku merasakan bahwa aku telah menemukan diriku yang sebenarnya di dalam dirinya. Jujur, aku tidak bisa menghindari gejolak CINTA ini. Benar kata Alexander Smith: “CINTA adalah menemukan diri sendiri dalam diri orang lain, dan merasa bahagia dengan penemuan itu”. Selama seminggu kami bersama, namun aku belum berani mengungkapkan perasaanku kepadanya. Aku bukanlah seorang pengecut, tetapi saan ini waktu belum mengijinkannya. Akhirnya aku baru mengungkapkannya ketika ia sudah jauh. Saat itu aku memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku walapun harus ditolak sekalipun. Apapun keputusannya, aku sudah siap menerimannya. Bagiku, mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali. Benar juga kata Mark Twain: “Keberanian bukan berarti tidak mempunyai rasa takut, melainkan berani bertindak walau merasah takut”. Salahkah jika aku mencoba? Tentu tidak. Demikianlah aku menguatkan hatiku saat memulai kisah CINTA ini. Akhirnya usaha tidak sia-sia. Iapun menerima CINTAku. Hari berlalu, tahunpun berganti. Beriring dengan berlalunya waktu, banyak juga pengalaman bahagia, sedih, marah, kecewa dan sakit hati telah kami lalui bersama. Walaupun demikian, CINTA itu tetap tegar bagaikan batu karang di tengan samudera. Dalam menjalin sebuah persahabatan, aku berpegang pada satu prinsip bahwa aku menCINTAi karena CINTA, aku CINTA agar menCINTAi. CINTA itu dengan sendirinya mencukupi, CINTA sendiri menyenangkan dan itu dengan sendirinya. CINTA itu bebas, bukan karena terpaksa. Mereka tahu bahwa aku yang menCINTAi dia, menjadi bagian dari CINTA dia juga. Jika demikian adanya CINTA, maka indahlah CINTA itu. CINTA adalah sebuah misteri. Tidak seorangpun yang dapat mendefinisikan CINTA itu secara pasti yang dapat merangkum semuanya. Setiap orang akan mendefinisikan CINTA itu berdasarkan pengalaman pribadinya. Ketika orang merasakan bahagia, ia akan berkata: CINTA itu indah. Tetapi, jika ia terluka karena CINTA, ia akan mengatakan: CINTA itu menyakitkan. CINTA ibarat harumnya bunga mawar. Jika kita disuruh mencium sekuntum mawar segar, kita tahu dengan pasti bagaimana harumnya itu. Tetapi akan menjadi sulit apabila kita disuruh untuk mendefinisikan harumya bunga mawar itu dalam satu kalimat. Sulit bukan? Demikian juga dengan CINTA.
Akupun tidak mengerti sepenuhnya tentang CINTA. Yang aku tahu dengan jelas hanyalah bahwa aku akan merasa kangen jika ia jauh dariku; aku akan merasa sakit hati jika ia menduakan CINTAku. Hanya itu saja yang aku mengerti tentang CINTA. Ya, kurang lebih satu tahun kami menjalin hubungan ini. Akhirnya, badai dasyat itupun datang. Badai itu adalah jarak dan waktu. Memang benar kata orang “CINTA itu tidak akan bertahan apabila dipisahkan oleh jarak dan waktu”. Sekokoh apapun batu karang, jika dihempas badai terus-menerus, sedikit demi sedikit akan terkikis dan pada akhirnya akan hilang. Begitu juga dengan CINTA. Sekokoh apapun CINTA itu pasti akan runtuh. Tetapi CINTA berbeda dengan batu karang. CINTA bisa dipertahankan, walaupun harus merasah sakit; menCINTAi hingga terluka. Sebab kata SANG CINTA: “Air yang dasyat tidak dapat memadamkan CINTA dan sungai-sungai tidak dapat menghanyutkannya". Namun kenyataannya berbeda dengan pengalamanku ini. Badai itu terus datang tiada hentinya. Akhirnya di penghujung bulan Agustus dalam tahun itu, badai dasyat itu tak dapat ku elakan lagi. Ia telah perpaling kepada CINTA yang lain. Saat ini aku hanya ingin mengatakan kepadanya “Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu, kalau memang itu membuatmu bahagia!”. Aku yakin itulah yang terbaik bagimu. Kata Khalil Gibran “CINTA itu adalah seekor burung jelita yang berharap untuk ditangkap, namun menolak untuk disakiti”. Sekali lagi, jika masih ada waktu kejarlah keinginanmu, jangan hiraukan diriku. Aku rela berpisah demi kamu. Lebih baik pernah menCINTAi dan sakit hati, daripada tidak sama sekali, kata Seneca. Akan tetapi, Thich Nhat Hanh memberi nasehat “CINTA yang hanya memilih bukanlah CINTA”. Jika itu yang terjadi dengan CINTA, percayalah! Satu per satu kan berlalu dari sisimu, termasuk sahabat-sahabat terbaik anda. Sahabat muda penCINTA Oasi di Vita, bagaimana jika anda yang berada di posisi ini?
Alexander Graham Bell menyadarkan kita dengan berkata: “Saat satu pintu tertutup, pintu yang lain terbuka. Tetapi sering kali kita menatap pintu yang tertutup itu begitu lama dan penuh sesal sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka untuk kita”. Namun, itu bukan berarti aku tidak lagi menCINTAinya lagi. Bahkan saat ini aku menCINTAinya lebih dari yang dia sendiri ketahui. Memang sakit hati sudah jelas, tetapi percayalah kepada SANG CINTA. Ada jalan lain yang lebih indah untukmu. Ituah dia yang telah kamu pilih. Ia lebih baik dariku. Aku yakin itu, sebab atas dasar itu jugalah kamu memilih dia. Sahabat muda, masih banyak orang yang ingin menjadi sahabat anda; temukanlah mereka! Memang sulit mencari sahabat yang mau bersahabat di zaman ini. Bagi para sahabat muda penCINTA Oasi di Vita yang telah menemukan sahabat terbaik, apakah kamu juga ingin melupakan atau meninggalkannya?