Sabtu, 26 Mei 2012

CERPEN: Arti Seorang Sahabat II (Oleh: Erick M. Sila)

Hari itu, aku merasah sangat lelah. Setelah seharian belajar dan bekerja, aku kecapean dan ingin beristirahat. Malam itu, jarum jam menunjukkan kira-kira pukul 22.00 WIB. Ya, aku masih ingat. Setelah berdoa, aku mulai menarik selimut untuk mulai berlabuh ke dunia mimpi. Aku merasah sangat lelah dan ingin beristirahat. Entah mengapa? Tiba-tiba aku teringat padamu. Teringat akan sahabat terbaik yang aku kenal satu tahun yang lalu. Kemudian aku mengambil hand phoneku yang ku letakkan di atas meja belajar di samping tempat tidurku. Setelah menemukannya, aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepadamu. Aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja di sana? Aku juga berharap bahwa kamu sudah terlelap saat ini, ditemani sang rembulan. “Hai sahabatku, apakah kamu sudah tidur?” demikian isi pesan yang ku kirimkan padamu malam itu. Ougth…, beberapa menit kemudian, kamu membalas SMS ku. Kamu mengatakan bahwa kamu tidak bisa tidur malam ini. “Apa gerangan yang membuatmu tidak bisa tidur malam ini dik?” demikian pertanyaan yang ku ajukkan padamu malam itu. Kamu mengatakan padaku bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan perut kamu. Perut kamu terasah sangat sakit sehingga membuatmu tidak bisa tidur malam ini. Demikian bunyi balasan SMS yang aku terima dari kamu. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemani kamu hingga fajar. Akan tetapi, kamu tidak mau tugas-tugas ku terbengkalai pada esok harinya. Maka kamu memintaku untuk lebih dahulu beristirahat. Sebenarnya saat itu, aku tidak mau membiarkanmu sendirian. Walau dari tempat yang jauh, aku ikhlas menemanimu hingga pagi. Aku hanya ingin kamu juga beristirahat walau sebentar. Atau setidaknya dengan kehadirannku kamu sejenak melupakan rasa sakit yang sedang kamu alami. Namun karena desakan darimu untuk beristirahat lebih dahulu, aku menurutinya. Saat itu, jam telah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Pukul 08.06 WIB, aku tersentak oleh alarm jam beker dari meja belajar di samping tempat tidurku. Hari ini adalah hari minggu. Setelah beranjak dari tempat tidurku, aku mulai mempersiapkan diri untuk ke gereja. Misa baru dimulai pada pukul 10.00 WIB nanti. Pagi itu, aku sengaja tidak menanyakan kabar kamu. Aku tahu bahwa kamu tidak bisa tidur semalam. Mungkin saat ini kamu sedang terlelap, maka aku memutuskan untuk tidak mengganggu kamu. Setelah makan siang, aku mencoba menanyakan kabar kamu. “Hai dik, apakah kamu sudah sehat?” demikian pertanyaan yang ku kirimkan padamu saat itu. Kamu mengatakan bahwa keadaan kamu sudah agak lumayan. Mendengar itu, aku merasah senang karena kamu sudah bisa bergembira lagi seperti sediakala. Aku masih ingat apa yang kamu katakan padaku siang itu. Kamu mengatakan bahwa kamu sangat bersyukur meiliki sahabat seperti aku. “Mmm…, kenapa dik kamu mengatakan seperti itu dik?” aku bertanya padamu. Kamu mengatakan bahwa akulah sahabat terbaik yang pernak ada dalam kehidupan kamu. Aku selalu ada disaat kamu membutuhkan. Di saat kamu senang maupun sakit, aku selalu ada untukmu. Demikian curahan hati yang kamu sampaikan padaku di siang itu. Yah, aku juga tidak tahu mengapa semua ini terjadi. Yang aku ketahuai hanyalah bahwa semua itu adalah anugerah dari Sang Cinta. Tuhanlah yang berkarya atas diri kita masing-masing. Ya, aku juga sangat bersyukur bisa kenal sama kamu. Kamu adalah gadis terbaik yang pernah aku jumpai dalam kehidupanku. Kamu adalah sahabatku yang mengerti tentang aku. Aku tidak tahu harus dengan apa membalas semuanya ini. Namun, aku sadar bahwa cinta hanya dapat dibalas dengan cinta dan kasih hanya dapat dibalas dengan kasih. Itulah cinta seorang sahabat. “Tidaka ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nayawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Mulai saat itu, aku sadar akan arti penting seorang sahabat. Semenjak aku mengenal kamu, aku mengerti akan arti persahabatan yang sesungguhmya. Kehadiranmu dalam kehidupanku menjadi suatu inspirasi bagiku. Aku menjadi lebih baik karena kamu. Jujur, seandainya saat ini kamu ada di sini, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Yah…, Aku tahu bahwa saat ini kita tidak bisa bertemu muka. Jarak dan waktu telah memisahkan kita. Kita dipisahkan oleh jarak dan waktu karena cita-cita. Semua itu harus terjadi demi kebaikan kita. Aku masih ingat apa yang pernah kamu katakan padaku. Kamu mengatakan bahwa persahabatan sejati itu melewati batas ruang dan waktu. Ya, aku ingat kata-katamu itu dengan jelas dan masih tersimpan di lubuk hatiku yang paling dalam hingga saat ini. Kamulah sahabat terbaik yang aku miliki. Sebelum ku akhiri kisah ini, Sejujurnya aku ingin mengatakan bahwa semenjak kita bertemu, tidak sesaatpun aku melupakanmu. Kamu selalu hidup di hatiku sampai kapanpun. Sampai aku menutup mata. Terima kasih sahabatku.

CERPEN: Akhir Sebuah Penantian (Oleh: Erick M. Sila)

Ketika aku terbangun dari tidur, ku dapati sang surya mulai terbenam di ufuk barat. Itu berarti bahwa sebentar lagi malam datang menjemput. Aku pun mulai beranjak dari peraduanku dan dengan langkah kecil aku menuju ke dapur. “Eh mama, lagi buat apa ma? Tanyaku kepada mama dengan nada sedikit menggoda”. “Eh, George, kok baru bangun…?”. “Ia ma, tadi terlambat pulang dari kampus”. Jawabku dengan suara kecil bercampur sisa kantuk. “Ow…, baiklah, bantu mama yuk persiapkan makan malam kita!”. “Okey ma, jawabku dengan nada penuh semangat”. Aku pun mulai membantu mama mempersiapkan segala sesuatu untuk makan malam nanti sampai tuntas. Setelah menyelesaikan tugas membantu mama di dapur, aku langsung mandi dan setelah itu aku langsung masuk kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku saat itu. Tiba-tiba perasaanku diliputi kesedihan begitu dalam. Entah mengapa peristiwa satu tahun yang lalu muncul begitu jelas di kepalaku. Malam itu aku mencoba menuliskan tentang semua yang pernah terjadi di antara kami. Masih ku ingat semuanya. Siang itu sepulangnya dari kampus, Erlin menghampiri aku dan mengatakan bahwa ia akan pindah ke Yogyakarta bersama kedua orang tuanya dalam waktu dekat. Mendengar berita itu aku tersentak kaget dan dalam hati aku berpikir “Harus secepat inikah semuanya berlalu? Padahal ku baru saja mengenal Erlin tiga bulan yang lalu, itu berarti kami akan berpisah?”. Sehari setelah perjumpaan dengan Erlin itu, aku ternyata memiliki waktu senggang, dan karena cuacanya begitu cerah, aku meminta Erlin menjumpai aku di tempat di mana biasanya kami bertemu. Maka aku meminta Erlin menemui aku jam 16.00 sore. Akhirnya waktu yang telah disepakati antara aku dan Erlin pun tiba. Maka dengan sebuah kawasaki ninja RR, aku langsung meluncur ke sebuah taman di tengah kota Medan. “Erlin…!” “Eh… George”, balas Erlin. “Sudah lama menunggu?” Tanya ku kepada Erlin. “Ah, tidak, aku pun baru saja sampai”, lanjutnya. “Ooo.. baiklah kalau begitu”. Maka ku tuntun Erlin ke sebuah bangku di tepi sebuah kolam tepat di tengah-tengah taman itu. Dari tempat itu, melalui tirai dahan-dahan, di atas kabut tipis tampaklah sebuah bukit di seberang sana yang sangat menakjubkan. Keindahannya menggambarkan kemegahan kuasa Sang Pencipta. Tepatlah seperti yang dikatakan oleh pemasmur… “Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak ada kata, suara mereka tidak terdengar”. Yah… saat itu hanyalah rasa kagum, terdiam dan membisu. Dalam keheningan senja hari itu, aku hanya mampu memandangi dahi Erlin yang begitu indah, pandangan matanya yang jujur, rambutnya yang abu-abu dibiarkannya agak panjang, agak gelombag di dahi dan menutupi sebagian telinnganya. “Erlin….”. Aku memecah kesunyian di antara kami. “Ya…?”. “Kamu benar-benar akan pergi…?”. “Ia, George, bagaimanapun aku harus pergi. Ini semua demi aku dan kamu juga”. Aku lama terdiam. Sambil menarik nafas panjang aku berkata dengan lirih, “Erlin, sesungguhnya walau dengan berat hati, aku merelakan engkau pergi. Pergilah ke mana hati membawamu! Aku iklas kok. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi”. “Ia, George…”. “Ada satu hal yang perlu kamu ketahui George”, Lanjut Erlin. “Apa itu…? Tanyaku penasaran”. “Semenjak pertama kali kita bertemu, tidak sesaatpun aku melupakanmu”. “Aku juga…” balasku dengan perasaan senag. “Ia George, semenjak aku mengenal kamu, aku merasah bahwa kamulah yang terbaik dari yang pernah aku jumpai dalam hidupku. Kamu sesalu hadir di saat aku membutuhkan bantuanmu. Segala yang baru dalam hidupku pasti ku lakukan bersamamu. Pokoknya sulit ku ungkapkan semuanya saat ini. Engkau begitu baik dan tulus kepadaku. Aku tidak bisah membalas semua kebaikanmu George saat ini, aku hanya memohon kiranya Tuhan yang akan membalas semuanya ini. “Erlin... jangan khawatir, Tuhan telah melihat semuanya dan Dialah yang akan membalas setiap perbuatan manusia yang baik maupun yang jahat”. Aku mencoba menguatkan hati Erlin walaupun dalam hati, aku pun merasakan kesedihan yang sama seperti yang dialami Erlin saat itu. Dua tahun berlalu aku dan Erlin hanya bisah berbagi cerita, canda dan tawa melalui surat dan telepon. Walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu kami selalu saling mendukung dan saling menguatkan di dalam doa. Pada suatu ketika, aku mendengar kabar dari salah seorang teman dekat Erlin bahwa besok ia akan diwisuda menjadi seorang sarjana muda jurusan sekretaris di sebuah universitas terkemuka di kota Yogyakarta. Mendengar berita itu aku merasa senang. Akan tetapi dalam kesenagan itu, aku bertanya-tanya dalam hatiku “mengapa kabar gembira ini harus aku dapatkan dari orang lain, ah, mungkin Erlin lagi sibuk dengan persiapan pestanya”. Aku mencoba menghilangkan segala pikiran itu dengan mencoba berpikir posetif. Keesokan harinya, aku menelepon Erlin untuk mengucapkan proficiat atas momen besar yang baru saja ia alami. Aku berpikir bahwa Erlin pasti sangat senang atas ucapan selamat dan surprise dariku saat itu. Namun apa yang terjadi? Ketika aku mencoba menghubunginya, terdengar suara lembut penuh wibawa dari seberang “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi!”. Mulai saat itu, aku kehilangan kabar tentang keberadaan Erlin. Hari berganti, tahun pun berlalu. Akhirnya pada suatu hari aku di kejutkan dengan sebuah panggilan tak terduga. Ini adalah nomor baru yang sungguh tidak tersimpan sebagai anggota kontak dalam hand phoneku. “Apakah ini Erlin?”, tanyaku dalam hati. Ternyata dugaanku tidak salah. Malam itu, Erlin meneleponku dan mengatakan penyesalan yang begitu dalam atas segala perbuatan yang telah ia lakukan terhadapku. “George…”. “Ya…”, jawabku singkat. “Maafkan aku ya…?”, suaranya mulai terdengar agak berat menahan air mata. “Atas apa…?” tanyaku seolah-olah tidak tahu dengan persoalan yang telah terjadi. “Maafkan aku karena telah mengkhianati cinta yang telah bertahun-tahun kita bina bersama. Aku tidak bisah berbuat apa-apa saat itu. Kedua orang tuaku memaksaku untuk segera menikah dengan pria pilihan mereka. Aku telah membuatmu terluka George. Skali lagi maafkan aku”. Dari seberang sana suara tangisnya semakin terdengar memecah kesunyian malam itu. Saat itu, aku kehilangan seribu bahasa. Aku tidak tahu mau bilang apa saat itu. “Tapi George…”, Erlin melanjutkan lagi pembicaraannya sambil terisak. “Ya, kenapa Erlin…?”. “Aku sunguh menyesal atas pernikahan itu George. Aku tidak bahagia bersamanya. Aku ingin kembali kepadamu George. Aku sadar telah menyakiti hati kamu. Maukah kamu menerima aku kembali George?”. “Erlin…, sesungguhnya sampai kapanpun, bahkan sampai saat ini aku masih menyayangimu. Akan tetapi, sebagai seorang kristen kamu harus ingat bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Jadi, sayangilah dia sebagaimana engkau menyayangi aku selama ini”. Aku mencoba meyakinkan Erlin agar kuat dalam menghadapi tantangan itu, walaupun aku sendiri harus kehilangan orang yang sangat aku cintai selama ini. Sungguh…, kesedihan dan kekecewaan itu begitu dalam di hatiku. Tetapi, sekali lagi aku berpikir bahwa aku harus berkorban demi kebahagiaan orang lain. Bukankah itu yang dilakukan Yesus Kristus di kayu salib untuk menebus dosa manusia?”. Tiada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang menyerahkan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.

CERPEN: Arti Seorang Sahabat (Oleh: Erick M. Sila)

Seorang sahabat adalah orang yang Bersamanya saya bisa tulus. Tanpanya, Saya harus berpikir keras. (Ralp Waldo Emerson) Aku tahu saat ini kamu sedang marah padaku. Aku sadar bahwa aku telah mengabaikanmu. Akan tetapi, semua ini aku lakukan bukan tanpa alasan. Aku berharap kamu mengerti dengan keadaanku waktu itu. Saat itu aku benar-benar sibuk dengan tugas kuliahku sehingga perhatianku padamu menjadi berkurang. Aku salah. Seharusnya aku sadar bahwa sahabat serta orang-orang yang selama ini memberikan cinta dan perhatian padaku tidak ku abaikan begitu saja hanya gara-gara tugas. Tapi apa bolehbuat. Aku hanyalah manusia biasa yang tidak sempurna. Maafkan aku sahabat. Pengalaman itu membuatku sejenak berefleksi. Aku sadar bahwa sahabat, keluarga dan orang-orang yang mencintai aku adalah anugerah dari Tuhan yang harus aku jaga. Sebab dari merekalah aku kuat; dari merekalah aku tahu akan arti hidup yang sesungguhnya. Ya.. kamu adalah salah satu diantara mereka yang begitu perhatian padaku. Dari kamulah aku mengerti arti hidup, cinta dan pengorbanan. Aku tidak tahu harus dengan apa aku membalas semuanya ini. Namun aku sadar bahwa cinta itu harus dibalas dengan cinta, kasih sayang harus dibalas dengan kasih sayang, dan perhatian dibalas dengan perhatian. Aku yakin kamu tidak akan menuntut lebih dari aku kecuali tiga hal di atas. Namun karena begitu sibuknya aku dengan tugas-tugas pribadiku aku mengabaikanmu. Aku baru sadar ketika kamu mengirimkan sebuah pesan singkat padaku. Kamu mengatakan bahwa lebih baik ditampar dari pada harus kehilangan perhatian dari orang-orang yang kamu cintai. Dalam hal ini aku bangga padamu. Suatu penghargaan luar biasa bagi bagi orang-orang yang berjasa dalam hidup kita. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Aku mulai sadar akan arti penting seorang sahabat. Sahabat adalah segalanya bagiku. Ia selalu ada, baik ketika aku senang maupun ketika aku susah. Dari merekalah aku kuat. Namun terkadang aku mengabaikan mereka begitu saja. Aku egois. Aku hanya membutuhkan mereka dikala aku lemah dan jatuh. Tetapi ketika aku kuat dan bahagia aku merasah mereka itu jauh. Bagiku, hal yang menyakitkan dalam hidup ini adalah pegkhianatan dari orang-orang terdekat. Itu sungguh menyakitkan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa mereka. Dan lebih baik mati daripada harus kehilangan mereka. Akan tetapi, aku sadar bahwa keputusan itu bukanlah keputusan orang yang beriman. Aku harus menyerahkan mereka kepada Tuhan dan berefleksi. Aku harus bertanya kepada diriku sendiri “mengapa mereka jauh dariku, apakah aku telah melakukan kesalahan besar kepada mereka sehingga mereka kecewa padaku? Ataukah aku terlalu egois sehingga aku hanya menuntut dari mereka? Mm.. aku tahu, aku harus merubah caraku mengenal mereka. Kalau sebelumya aku lebih pasif, maka mulai saat ini aku akan lebih aktif. Perhatian dan kasih sayang itu pertama-tama harus dari aku. Karena aku yakin, apa yang aku berikan itulah yang akan aku terima. “dan sebagaimana kamu menghendaki supaya orang berbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Luk 6:31). Kata orang bijak “jika kamu ingin segera kehilangan sahabat, mulailah menyanjung diri anda sendiri; jika anda ingin mendapat dan mempertahankan sahabat, mulailah menyanjung orang lain”. Kata-kata ini sungguh luar biasa bagiku. Darinya aku mendapat inspirasi bahwa kita tidak boleh tinggal pada diri sendiri. Kita harus keluar dari diri kita untuk orang lain. Dengan demikian, hidup akan terasa indah dan mudah untuk dijalani. Terima kasih sahabatku.

KISAH: KEKUATAN SALIB KECIL (Oleh: Erick M. Sila)

Rumah sakit Vita Insani yang terletak di jalan merdeka kota Pematang Siantar malam itu cukup meriah dengan lampu-lampu yang indah dan terang. Semuanya itu menunjukan bahwa rumah sakit ini cukup terkenal di kota Pematang Siantar. Di pelataran rumah sakit tersebut, tampak puluhan mobil dan kendaraan lain yang telah parkir. Itu bertanda bahwa banyak orang yang dirawat di sini, ataupun orang-orang yang datang mengunjungi sanak keluarga mereka yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut. Malam itu, adalah giliran bagi saya untuk menggantikan frater Norbeth yang sudah dua hari menemani frater Ruben yang juga sedang dirawat di sana. Ia telah dua hari berada di rumah sakit karena terkena DBD (Demam Berdara Dengue). Sayang, karena padatnya pasien pada waktu itu, frater Ruben harus berada satu kamar dengan seorang anak kecil yang juga menderita penyakit yang sama. Namanya adalah Willy. Ia baru berusia empat tahun tetapi terkenal sangat lincah dan pandai, ungkap ibunya memuji anaknya itu. Tetapi sekarang ia membuat kami resah, katanya lagi dengan wajah bersedih. Sudah dua hari berlalu, tak sebotol infus pun yang berhasil dipasang oleh para petugas rumah sakit. Setiap infus yang dipasang, dicabutnya, diputar-putar bagaikan baling-baling sebuah helikopter. Melihat tingkah laku si Willy, orang tuanya bersama para petugas rumah sakit semakin resah dan gelisah, sebab mereka semua telah kehabisan akal dalam menanganinya. Sementara kondisi tubuh si Willy semakin hari semakin menurun. Tok…tok..tok…, terdengar suara ketukan dari balik pintu. Beberapa saat kemudian pintu dibuka dan tampaklah seorang petugas rumah sakit yang datang mengantarkan makanan untuk si Willy dan frater Ruben; sebab memang sudah saatnya makan malam. Tusukan jarum infus yang telah menembus kedua tangannya membuat kondisi tubuh frater Ruben lemah, sehingga ia tidak sanggup lagi memasukan makanan ke mulutnya sendiri. “ayo, biar ku suapi”, kata ku kepadanya. Frater Ruben yang memang sudah lapar, ditambah lagi semangat untuk sembuh menjadi sangat lahap, sehingga nasi dan lauk pauk sepiring habis disantapnya. “Kamu ingin aku disini terus menyuapimu?” “Enggak”. “Kalau begitu, kamu harus tetap semangat biar kita cepat pulang. Banyak saudara telah merindukanmu di sana. Mengerti? “ya”, sahut frater Ruben dengan penuh semangat. Saat itu saya sejenak berpikir, kalau bukan sekarang aku membantu saudaraku ini, kapan lagi? Sebab saya tidak tahu kapan waktunya Ia datang. Kalau saya tidak berbuat sekarang dan di sini, kapan lagi? Sementara si Willy menangis terus dari tadi. Untuk membujuknya makan tidak semudah yang di alami frater Ruben. Ia terus menangis dan menolak tidak mau makan. Kedua orang tuanya sudah kehabisan tenaga dan akal untuk membujuknya makan. Semua keluarga menyerah. Karena kasihan melihat keadaan si Willy yang demikian, saya mulai mencari akal untuk menenangkannya. Dengan sedikit canda dan pujian serta dibarengi dengan sepenggal doa dalam hati, aku mulai mencoba. Satu mujizat terjadi. Willy akhirnya berhasil dibujuk untuk makan, dan bukan hanya itu tiga sendok teh sirup juga diminumnya. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah saat-saat yang boleh dikatakan sangat menegangkan bagi saya. Beberapa saat kemudian, beberapa petugas rumah sakit datang lengkap dengan peralatan medisnya. Melihat hal itu, si Willy mulai menangis dan bahkan lebih histeris lagi. Ia menolak tidak mau di infus. Apa boleh buat. Kami mulai memegang tangan dan kakinya yang bergerak kesana kemari. Itupun tidak berhasil, karena jarum infus yang telah berhasil dipasang di tangannya menjadi bengkok. Kedua tangannya telah ditembusi jarum namun tak satupun berhasil. Bagian tubuh yang masih tersisa adalah kedua kakinya. Pada awalnya masih sulit, sebab si Willy belum juga tenang. Semua keluarga dan petugas rumah sakit nampak lemas dan tidak ada harapan lagi. “kita coba lagi”, kata seorang petugas dengan nada serius. Sementara petugas mencoba menusukan jarum ke kaki si Willy, sayapun mulai berdoa dalam hati, “ya Tuhan, kasihanilah si Willy, sembuhkanlah dia sebab dia belum tahu apa-apa”. Setelah berdoa demikian, saya dengan diam-diam menandakan sebuah salib kecil di kening si Willy. Meskipun sebelumnya saya telah mengetahui bahwa keluarga ini bukanlah umat katolik. Akan tetapi, saya yakin bahwa dengan kuasa salib, Yesus akan membebaskan setiap orang yang datang dengan rendah hati memohon kepada-Nya. Syukur kepada Tuhan, akhirya berhasil. Si Willy mulai tenang, dan jarum infus pun berhasil dipasang. Kondisi tubuhnya hari demi hari mulai membaik. Satu hari setelah kepulangan kami, kami mendengar bahwa si Willy juga sudah keluar dari rumah sakit. Saya sangat senag dan bersyukur, karna Tuhan selalu mengasihi setiap orang yang selalu berharap kepada-Nya. Kuasa Tuhan adalah nyata. Pengalaman sakit adalah sesuatu yang tidak enak, apalagi orang-orang yang kita cintai tidak ada bersama kita pada saat itu. Tentulah sangat berat bagi kita bukan? Namun sebagai orang yang percaya kita yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita. Yesus Kristus telah mengalahkan maut melalui kebangkitan. Pengalaman Yesus hendaklah menjadi inspirasi bagi kita, teutama ketika kita berhadapan dengan penderitaan. Daripada menganggap bahwa penderitaan yang kita alami adalah tanda Allah tidak mengasihi kita, lebih baik anggaplah hal itu sebagai tanda kemurahan-Nya. “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran, Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya”(Ibrani 12:6,7). Jangan pernah berpikir kita telah dilupakan Allah. Oleh karena itu, marilah kita bangkit, tetap semangat, Tuhan Yesus senantiasa bersama kita. Ia pernah berkata “Aku akan menyertai kamu senantiasa sampai pada akhir zaman”(Matius 28:20).

CERPEN: Cinta Terindah (Oleh: Erick M. Sila)

Pagi itu, langit tampak biru dengan sedikit awan putih di langit. Hari ini adalah awal tahun ajaran baru. Seperti biasanya, untuk membuka tahun ajaran baru setiap Sekolah Menengah Atas (SMA) mengadakan Masa Orientasi Siswa (MOS). Demikian juga di sekolahku. MOS kali ini adalah suatu kesempatan yang sangat berharga bagiku. Ini merupakan kesempatan yang sangat langka. Ya, sebagai ketua kepribadian dan budi pekerti luhur dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), aku memiliki kesempatan sebagai salah satu anggota panitia MOS kali ini. Menjadi panitia MOS adalah kesempatan yang sangat berharga bagiku. Mungkin dan dan memang pasti demikian bahwa ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bagiku menjadi paniatia MOS. Sebentar lagi aku akan tamat dan meninggalkan sekolah ini. Hari ini aku mendapat giliran menangani para murid baru yang ganteng dan cantik-cantik. Aku diberi kesempatan untuk membawakan program bina mental serta menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur kepada siswa-siswi baru. Dalam pemaparan tersebut, entah mengapa tiba-tiba mataku berpapasan dengan sesosok tubuh indah dengan paras cantik yang menempati salah satu kursi di barisan paling belakang. Jujur, saat itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. “Apakah aku jatuh cinta?” aku bertanya demikian dalam hatiku. Mmm…, entahlah. Seminggu telah berlalu dan MOS pun telah berakhir. Kegiatan belajar mengajar di kelaspun sudah berjalan normal sebagaimana biasanya. Tidak sedikitpun aku melupakan tatapan matanya waktu itu. Setiap hari aku berusaha mencari tahuu dimana kelas gadis itu dan siapa namanya. Setelah bertanya-tanya, tenyata gadis manis itu adalah Dewi murid kelas 10 A. Dewi memang cantik dan mengagumkan bagiku. Aku telah jatuh hati kepadanya. Aku berusaha bagaimana cara mendapatkan cintanya. Cinta memang aneh, datang tak kenal waktu. Aku hanya bisa merasakan kapan cinta itu datang dan kapan pula perginya. Saat cinta bersemi, semuanya akan menjadi indah dan merubah segalanya menjadi rindu. Ya, aku merindukannya saat ini. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkan cintanya. Dewi…, Oh, kenapa aku jadi terus teringat kepadanya? Akhirnya aku mengambil secarik kertas dan mulai menuluskan segala perasaan hatiku pada Dewi sang kekasih impian hatiku: Dear Dewi: Dewi, pertama sekali maafkanlah aku jika kedatangan suratku ini mengganggu konsentrasi belajar kamu. Aku harus jujur padamu bahwa selama ini aku telah berusaha untuk tidak mengatakan apa yang aku rasakan. Jujur, memendam perasaan itu adalah siksaan bagiku. Namun semakin lama perasaan itu tak sanggup aku bendung lagi. Sehingga dengan berani aku menulis surat ini… Semenjak hari pertama MOS, wajahmu yang cantik menawan hati itu tak sekejap pun hilang dari ingatanku. Aku telah terlanjur jatuh cinta padamu Dewi. Kamu adalah pilihan hatiku dan tidak ada yang lain lagi selain kamu seorang. Di mana aku memandang, seakan kamu ada di sana. Inikah yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu Dewi. Yang ku rasakan hanyalah bahwa aku selalu merindukanmu dan ingin sekali bertemu dan berbagi cerita bersamamu selalu. Bagiku, kamu adalah bintang kejora yang ku impikan selama ini. Di mana saat aku bertemu denganmu, di sekolah atau di manapun itu yang ku rasakan hanyalah bahagia. Tetapi aku tidak tahu harus dengan cara apa aku mengungkapkan perasaanku ini padamu. Namun aaku tidak tahu apakah bintang kejora yang kuimpikan itu masih bebas di langit malam nan biru? Belum ada yang memiliki? Jika memang sudah ada yang memiliki hatimu, aku mohon maaf karena sudah dengan lancang menulis surat ini. Semoga kamu mengerti akan perasaan hatiku. Rian. Beberapa hari berlalu, surat yang kutuliskan telah dibaca oleh Dewi. Ternyata Dewi menerima cintaku. Namu aku belum puas dengan jawaban itu. Aku ingin memastikannya sendiri bahwa Dewi benar-benar mencintai aku. Maka aku memutuskan untuk menemui Dewi secara langsung. Suatu hari setelah pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mrnemui Dewi. aku mengutarakan maksudnya dan mengajak Dewi ‘ketemuan’ di Kebun Binatang besok setelah pulang sekolah. Sepulang sekolah, Dewi langsung meluncur ke arah Kebun Binatang dimana aku memintanya untuk menemuinya di sana. Dewi buru-buru, karena ia tak mau mengecewakan calon kekasih hatiku. Namun rupanya Dewi sudah tiba lebih dahulu di sana sebelum aku datang. Aku baru muncul setelah Dewi menunggu hampir lima belas menit. “Dewi…”! seru ku begitu melihat Dewi yang glisah mencari-cari sesuatu. Dewi berpaling ke arah datangnya suara. Dewi tersenyum ketika melihat aku datang. “Sudah lama menunggu?” tanya ku. “Ah, Tidak. Dari sekolah aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut ku sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Dewi. “kita cari tempat untuk ngobrol, yuk?” ajak ku. Dewi menurut. Maka kami pun melangkah beriringan menuju sebuah café di tengah-tengah taman itu. Sambil menunggu pesanan datang, kami pun ngobrol diselingi canda Dewi yang penuh dengan daya pikat tersendiri. “dewi…” “ya?” “Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”. “Kenapa?” “Karena akhiranya aku bisa mendapatkan bintang kejora yang ku impikan selama ini”. “Aku juga…” “Kenapa..?” “Karena akhirnya aku pun menemukan matahari kehidupan yang selama ini ku dambakan. Yang jelas, setelah pertama kali kita bertemu, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “O, ya? aku juga…” balas ku denga perasaan senang. Setiap aku dan Dewi lalui bersama penuh canda dan tawa. Hari berlalu, bulan berganti, akhirnya tibalah saatnya bagi kami untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian akhirnya kami laksanakan dengan baik dan kini saatnya bagi aku dan Dewi untuk menentukan ke perguruan tinggi mana mereka harus melanjutkan pendidikan. Ini juga berarti bahwa aku dan Dewi harus berpisah. Hari ini adalah perpisahan sekolah. Suatu momen yang sangat berat bagiku maupun Dewi. “dewi…” Aku memecah kesunyian di antara mereka. “Ya..” “Kamu ingin melanjutkan ke mana setelah dari sini…?” “Yah, belum tahu juga Rian, yang jelas aku ingin ke Semarang. “Kalau kamu…??” aku terdiam sejenak. “Dewi..”. “Ya…”. “Aku telah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di sini saja. Ini adalah keputusan saya dan kedua orang tuaku juga mendukungnya”. “Kamu serius…?” tanya Dewi dengan suara sedikit gemetar. “Ya…, kamu merelakan aku pergi kan…???” tanya Dewi kepadaku. “Dewi, kemanapun kamu melanjut itu adalah pilihanku juga, dan apa yang menjadi kebahagiaanmu aku juga ikut berbahagia. Pergilah! Aku merelakanmu. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi. Jangan lupa SMS atau menelepon aku”, lanjut Dewi. “sayang, nomorku tidak akan pernah aku ganti, sebab nomor itu memiliki kenagan tersendiri bersamamu. Percayalah, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu namun hati kita selalu dekat”. Balasku meyakinkan Dewi. Dengan berlalunya waktu akhirnya saat yang tak aku sangka-sangka datang juga. Siang itu aku sangat lelah sehingga aku ketiduran sehingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul 14.04. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar hand phone ku berdering. Dengan cepat aku mengambilnya dari meja di samping tempat tidurku dan mulai membukanya. Aku kaget dan tidak percaya ketika membaca pesan itu. Dalam pesan tersebut Dewi memintaku menjemputmu di pintu gerbag rumahku. “Ah…, kamu hanya bercanda saja” demikian pikirku dalam hati. Akhirnya dengan berat hati aku mengikuti perintah Dewi. Aku keluar dan mengambil sepeda kecilku dari gudang, lalu dengan segera aku menuju ke gerbang untuk membuktikan apakah yang Dewi katakan itu benar atau hanya sebuah kebohongan belaka. Waktu itu ada dua pikiran dalam benakku. Pertama, jika itu hannya canda belaka, tidak mengapa. Sebab, aku telah berencana akan pergi dengan sepeda kecilku ke mana saja aku mau. Dan itu telah aku beritahukan kepada Dea adikku. Yang kedua, jika itu benar maka aku akan memeluknya dan mengatan betapa aku merindukan kehadirannya. Dengan sepeda kecilku aku melaju dari atas. Aku menghentikan sepedaku dengan tiba-tiba sehingga ban belakangnya terseret panjang. Aku tersentak kaget ketika melihat seseorang dengan sosok tubuh begitu indah berdiri mebelakangi arah dimana aku datang. Aku tidak percaya. Aku tidak tahu dengan kata apa harus ku ungkapkan kebahagiaanku saat itu ketika aku mengetahui dan melihat dengan jelas bahwa itu adalah Dewi. Karena perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat itu, aku kehilangan kata-kata. Aku tidak tahu mau mengatakan apa kepadanya saat itu. Yang aku rasakan hanyalah kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya dengan langkah santai aku menuntun Dewi menuju ke rumahku. Ya, rumah dimana kami berbagi cerita di saat Dewi masih di sini. Jujur, saat itu aku sangat bahagia karena Dewi masih mengingatku dan mengunjungi aku. Aku juga tahu bahwa masih banyak keluarga yang harus Dewi kunjungi selama liburanmu kali ini. aku juga tahu bahwa waktu liburan Dewi sangat singkat, namun aku bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena Dewi masih mengingat aku. Dewi telah berkorban banyak untukku. Korban waktu, korban tenaga dan segalanya demi aku. Lebih lagi, semua itu karena Dewi masih mencintai dan menyayangiku seperti yang dulu. Jika tidak, Dewi tidak akan datang melihat aku di sini. ”Sayang, aku tidak tahu dengan apa aku harus mebalasnya kepadamu. Yang aku miliki hanyalah cinta dan perhatian. Aku yakin kamu tidak akan menuntut lebih daripadaku selain kedua hal itu. Maka sebelum kamu pergi, sekali lagi ingin kukatakan bahwa aku sayang padamu. Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun. Walau dari tempat yang jauh ini. Bahkan bila aku mati, ku kan berdoa pada yang ilahi, agar kita bisa bersama lagi di surga nanti. Aku akan mengingat dan merindukanmu setiap saat”. Inilah kata terakhir dariku sebelum Dewi kembali lagi ke Semarang. Hari berlalu, tahunpun berganti. Setiap hari aku dan Dewi saling bertanya tentang kabar masing-masing. Kisah itu masih aku ingat dengan jelas. Aku ingat saat itu Dewi mengatakan kepadaku untuk tetap dan selalu menjadi sahabat terbaiknya selamanya. Aku juga ingat ketika Dewi bertanya apakah aku selalu kangen dengannya. Aku mengatakan bahwa itu benar. Aku selalu merindukanmu di setiap langkah hidupku. Tahukah kamu apa yang ku minta di setiap doa sepanjang hariku? Aku selalu meminta kepada Tuhan agar kamu selalu dilindungi. Sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintai dan menyayangimu sampai kapan pun. Aku tidak akan menuntut lebih dari kamu. Aku hanya ingin agar kamu tetap menjadi sahabat terbaikku selamanya. Engkaulah sang Dewi ku. Tinggallah bersamaku selamanya. Namun sayang…, semua tidak seperti yang aku bayangkan. Ya…, ia telah berubah. Ia tidak seperti Dewi yang aku kenal dulu. Semenjak Dewi berkenalan dengan kekasihnya yang baru itu, aku semakin di lupakan. Memang aku sadar bahwa aku bukan pilihan hatimu dan aku juga tidak pantas untukmu. Maka aku harus pergi…, Ya. Mungkin inilah waktunya. Namun sebelum aku berlalu… aku ingin mengatakan bahwa apa yang pernah aku katakan kepadamu dulu, akan selalu hidup di hatiku. Semoga kamu bahagia bersamannya… lebih bahagia dari yang pernah aku berikan untukmu. Akhir kata: “HASTA LA VISTA, BABY….”.

CERPEN: PANGGILAN DI UJUNG CINTA (Oleh: Erick M. Sila)

Sorot mentari yang terik kian melemah, terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Daun-daun berjuntai yang bergoyang ditiup semilir angin meneduhkan suasana. Gerimis yang merenai memboyong kelembaban seakan mengajak orang-orang untuk pulang. Inilah saat paling menyenangkan bagi Rian bersama teman-temanya di taman Sakura Kaban Jahe. Pada waktu itu, Rian cepat-cepat pulang karena teringat akan ulangan Matematika besok. Setelah mandi Rian mulai membuka-buka catatanya, sejenak sebagai penyegaran kembali. Sementara asyik dengan itu, tiba-tiba terdengar suara letusan yang sangat dasyat. Buuu….uumm…!!!!!, beberapa saat kemudian orang-orang berhamburan keluarrumah. Tangisan dan teriakan para ibu memanggil-manggil anaknya memecah kesunyian malam itu. Beberapa saat kemudian, barulah Rian menyadari bahwa Gunung Sinabung telah meletus. mereka semua panik, ada yang mencari-cari anaknya yang hilang, ada yang menyelamatkan harta bendanya. Rian dan keluarganya harus meninggalkan rumah pada malam itu juga karena kerusakan yang cukup serius. Hanya beberapa barang saja yang mereka selamatkan, yang penting bagi keluarga Rian adalah keselamatan jiwa mereka semua. Tempat perlindungan yang aman bagi kami malam itu adalah jambur terdekat yang tentunya jauh dari jangkauan letusan Gunung Sinabung. Karena situasi dan kondisi di kampung halaman Rian yakni Suka Ndebi tidak memungkinkan, akihirnya keluarga Rian memutuskan untuk pindah ke kota Medan. Sebagai pendatang baru, Rian dan keluarganya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru pula. Sangat kontras bagi Rian. Mengapa? Lingkungan tempat tinggal Rian dulu aman, tenang, sejuk dan damai kini mereka harus berhadapan denga lingkungan yang bising, sibuk dan kotor. Tapi apa boleh buat, semua ini adalah kehendak dari yang mahakuasa. Di tempat yang baru, Rian akhirnya mendaftarkan diri pada sebuah sekolah terdekat yang cukup terkenal. Berkat kejeniusannya, akhirnya Rian pun diterima dengan mulus di sana. Hari ini adalah hari senin. Kehadiran Rian di kelas III IPA SMA St. Thomas I Medan, ternyata telah dinanti-nantikan oleh teman-temanya. Hal ini terjadi berkat informasi dari kepala sekolah hari sabtu yang lalu. Walaupun baru pindah dari kampung, kehadiran Riang di kelas itu ternyata membawa warna khusus. Keramahan dan kerendahan hati yang dimilikinya membuat teman-teman suka kepadanya. Sebagaimana teman-teman yang lain, Rian akhirnya jatuh cinta kepada Dewi teman sekelasnya. Namun Rian masih bingung bagaimana cara mendapatkannya. Suatu hari setelah pulang sekolah, Rian memberanikan diri untuk mrnemui Dewi. Rian mengutarakan maksudnya dan mengajak Dewi menemuinya di Sun Plaza besok setelah pulang sekolah. Sepulang sekolah, Dewi langsung meluncur ke arah Mal dimana Rian memintanya untuk menemuinya di sana. Dewi buru-buru, karena ia tak mau mengecewakan calon kekasih hatinya. Namun rupanya Rian belum tiba di Mal ketika Dewi tiba. Rian muncul setelah Dewi menunggu hampir lima belas menit. “Dewi…”! seru Rian begitu melihat Dewi yang glisah mencari-cari sesuatu. Dewi berpaling ke arah datangnya suara. Dewi tersenyum ketika melihat Rian datang. “Sudah lama menunggu?” tanya Rian. “Ah, Tidak. Dari sekolah aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut Rian sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Dewi. “kita cari tempat untuk ngobrol, yuk?” ajak Rian. Dewi menurut. Maka keduanya pun melangkah beriringan menuju sebuah café di Mal tersebut. Sambil menunggu pesanan datang, keduanya pun ngobrol diselingi canda Dewi yang penuh dengan daya pikat tersendiri. “dewi…” “ya?” “Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”. “Kenapa?” “Karena akhiranya aku bisah mendapatkan bintang yang ku impikan”. “Aku juga…” “Kenapa..?” “Karena akhirnya aku pun menemukan matahari kehidupan yang selama ini ku dambakan. Yang jelas, setelah pertama kali kita bertemu, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “Aku juga…” balas Rian denga perasaan senang. Setiap hari mereka lalui bersama penuh canda dan tawa. Hari berlalu, bulan berganti, akhirnya tibalah saatnya bagi mereka untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian akhirnya mereka laksanakan dengan baik dan kina saatnya bagi mereka untuk menentukan ke perguruan tinggi mana mereka harus melanjutkan pendidikan. Ini juga berarti bahwa Rian dan Dewi harus berpisah. Hari ini adalah perpisahan sekolah. Suatu momen yang sangat berat bagi Rian maupun Dewi. “dewi…” Rian memecah kesunyian di antara mereka. “Ya..” “Kamu ingin melanjutkan ke mana setelah dari sini…?” “Yah, belum tahu juga Rian, yang jelas aku ingin ke AKPER Elisabeth. “Kalau kamu…??” Rian terdiam sejenak. “Dewi..”. “Ya…”. “Aku telah memutuskan untuk hidup membiara. Ini adalah keputusan saya dan kedua orang tuaku juga mendukungnya”. “Kamu serius…?” tanya Dewi dengan suara sedikit gemetar. “Ya…, kamu merelakan aku pergi kan…???” tanya Rian. “Rian, sesungguhya apa yang menjadi pilihanmu adalah pilihanku juga, dan apa yang menjadi kebahagiaanmu aku juga ikut berbahagia. Pergilah! Aku merelakanmu. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi”. Sepuluh tahun berlalu di jogja, Rm. Rian tidak pernah mendapatkan kabar sedikitpun tentang keberadaan Dewi. Pada suatu ketika dalam acara pentahbisan ketujuh imam diosesan di katetral Keuskupan Agung Medan, barulah Rm. Rian bertemu dengan Dewi. Alangkah terkejutnya rm. Rian ketika berjumpa dengannya. Teryata Tuhan berkehendak lain bagi mereka berdua. Dewi ternyata telah menjadi seorang seketaris sukses di sebuah perusahaan terkenal di kota Medan. Perjumpaan itu membuat Rm. Rian sangat senang dan bahagi karena Tuhan memberikan jalan yang terindah bagi mereka berdua. Terima kasuh Tuhan, terima kasih cinta.

KISAH SAHABAT: Kisah Kelabu Dari Bumi Lorosa’e (Oleh: Erick M. Sila)

Di suatu malam yang sepi, gelap, dingin mencekam kalbu, aku menyandarkan diri pada sebatang pohon di tengah taman kecil di depan kamarku. Ketika itu yang terdengar hanyalah lolongan anjing dari kampung sebelah. Sementara nyanyian para jangkrik di sekitarku pun tiada hentinya menghiburku. Mereka seakan mengerti dengan apa yang aku rasakan pada saat itu.. Kepada mereka ingin aku ceritakan tragedi dua belas tahun lalu yang membuatku kehilangan segalanya. Ya… sore itu, langit tampak gelap padahal musim kemarau masi sepenggal saja berlangsung. Ketika itu sang mentari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Langit yang hampir gelap itu digarisi dengan warna-warna redup dan angin sore yang kering menggigilkan menghinggapi bumi Lorosa’e. Sore itu seluruh keluarga telah berkumpul di rumah termasuk kakek dan nenek. Ketika itu, di ujung kampung mulai terdengar bunyi letusan dan rentetan senjata membisingkan telinga. Saat mendengar letusan yang amat dasyat itu, kami semua meniarap ketakutan di lantai, di balik tumpukan karung yang berisi penuh padi dan jagung. Dengan penuh ketakutan ibu mendekapku dan kakak erat-erat agar kami tidak mendengar suara rentetan tembakan itu. Aku memandangi wajah ibuku yang pucat, dingin dan gemetar tanpa sekatapun terucap. Saat itu ingin aku katakan kepada ibu “aku takut”, tetapi apabila terdengar dari luar, konsekuensinya adalah hidup atau mati. Sang ibu seakan mengerti tentang apa yang ingin aku katakan saat itu. Ibu membalas tatapanku dengan mengusap-usap kepalaku tanda memberi kekuatan. Sementara sang ayah bersama abangku siaga di balik pintu, masing-masing dengan sebuah samurai panjang di tangannya. Mereka siap membabat habis siapa saja yang mau menerobos masuk dengan paksa. Malam itu terasa amat panjang, mendebarkan dan menakutkan. Keesokan harinya keadaan semakin memanas. Pasukan pro kemerdekaan Timor Leste atau fretelin dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) saling mengadu kekuatan sehingga yang menjadi korban adalah rakyat biasa yang tidak tahu apa-apa. Dengan terpaksa kami harus meninggalkan harta benda, rumah dan segalanya yang telah kami bangun bertahun-tahun dan kini harus ditinggalkan begitu saja. Hanya dengan pakaian di badan dan makanan secukupnya, kami lari tanpa tujuan yang pasti. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menuju ke hutan. Maka dengan langkah penuh siaga kami menyusuri sebuah anak sungai yang tadinya jernih berkilauan kini berubah menjadi merah penuh darah. Melihat hal itu, kami hanya terdiam, Oh, Tuhan, kapan semua ini berakhir? Tanpa banyak kata kami melewati anak sungai itu, melewati pepohonan hutan dengan batu-batunya yang tajam dan terjal dengan penuh hati-hati. Akhirnya kami sampai pada sebuah bukit di mana dari bukit itu nampak rumah dan kampung halamanku dengan jelas. Dari kejauhan suara tangisan penduduk terdengar histeris. Sementara langit bumi Lorosa’e yang tadinya biru cemerlang, kini dihiasi dengan asap hitam tebal bercampur debu. Tiba-tiba dari puncak bukit itu kami melihat segerombolan pasukan pemberontak bergerak menuju ke kampung tempat rumahku berada. Mereka membakar habis semua rumah penduduk termasuk rumah kami. Melihat kejadian tersebut, ibuku tiba-tiba pingsan. Ibuku tidak rela melihat rumah kami yang tadinya berdiri kokoh kini harus rata dengan tanah dilahap si jago merah dalam hitungan menit. Kami semua panik, tidak tahu apa yang harus kami lakukan saat itu. Jalan satu-satunya adalah berdoa memohon kekuatan dari Tuhan agar semua ini cepat berlalu. Beberapa menit kemudian ibuku sadar dari pingsannya. Wajahnya yang pucat dan tubuhnya yang dingin dan lemah membuatku semakin sedih melihat keadaannya. Namun dalam kesedihan itu, aku mencoba menenangkan dan menguatkan ibuku bahwa semua ini bukanlah rencana kita, semua ini pasti berlalu. Yang jelas kita harus mencari jalan agar keluar dari tempat ini. Ibuku menganggukkan kepalanya tanda setuju. Senja berlalu malam hari pun tiba, akhirnya kami melangkah menuju ke sebuah lembah di sebelah bukit itu. Tempat ini sangat aman karena dikelilingi oleh beberapa bukit batu yang terjal dan curam. Di tempat inilah kami berlindung. Jam telah menunjukkan pukul 22.00 WITA dan perut kami mulai terasa lapar. Ayah dan kakek membuat sebuah lubang di tanah sebagai tungku untuk memasak. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar cahaya api tidak terlihat oleh pasukan pemberontak. Jika tidak demikian, bisa berbahaya bagi kami semua. Kami mulai makan dan tidak lupa juga menyisihkan untuk pagi dan siang. Kami takut karena apabila menghidupkan api pada siang hari akan menimbulkan asap dan dengan demikian tempat persembunyian kami dapat tercium oleh para pemberontak yang haus akan darah. Seminggu berlalu, persediaan makanan yang kami bawa dari rumah akhirnya habis. Maka untuk mengisi perut kami selama sebulan lebih di lembah hutan itu, kami memanfaatkan umbi-umbian, pisang dan kelapa dari ladang orang lain yang ada di sekitar situ. Melihat persediaan makanan yang sudah semakin sulit diperoleh, maka ayah teringat akan beberapa karung beras dan jagung yang ia kuburkan di samping rumah kami dua hari sebelum peristiwa itu. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kampung halaman untuk mengambilnya, tetapi ibuku tidak setuju atas keputusan ayah tersebut. Ibuku mengatakan bahwa “lebih baik mati kelaparan daripada mati di tangan para pemberontak yang tidak bertanggung jawab”. Namun ayahku tetap berkeras hati untuk pergi. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat dan aku melihat ayahku mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatannya. Maka ayahpun berangkat. Namun sebelum pergi ayah berpesan kepada kakek untuk menjaga kami dan ibu. Kalimat terakhir dari ayah kepada kakek dan ibu sebelum ia berangat adalah “kalian harus menunggu saya sampai saya kembali tetapi, jika terjadi sesuatu dengan saya kalian tidak boleh menunggu lama; kalian harus segera kekuar dari sini”. Aku melihat ibuku menagis, ia tidak mau ayah pergi. Tetapi ayah mengatakan bahwa apabila kita lapar, kita tidak bisa lari dari hutan yang luas ini. Akhirnya malam itu ayah pun pergi. Hari berganti hari minggu berganti minggu, tidak terdengar kabar apa pun dari ayah. Jangan-jangan ayah sudah mati? pikiranku semakin tidak karuan. Huuuft…. aku menarik napas dalam-dalam sambil memohon kepada Tuhan agar ayahku pulang dengan selamat. Pada suatu hari, kami dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang muncul dengan tiba-tiba. Ternyata ia adalah bapak Jhon tetangga kami. Untunglah senapan tumbuk yang diarahkan kakek kepadanya belum sempat di tarik bedilnya. Maksud kedatangannya adalah ingin menceritakan tentang keberadaan ayahku sekarang. Bapak jhon adalah saksi mata yang menyaksikan secara langsung peristiwa itu. Bapak Jhon pun mulai bercerita. Pertama ia melihat ayahku melangkan pelan menuju ke arah rumah kami, ia terkejut dengan keadaan kampung yang tidak jelas. Rumah kami yang tadinya berdiri kokoh kini tidak ada lagi. Dengan wajah yang sedih, ia mencari-cari sesuatu. Setelah menemukannya, ia pun mulai menggali. Ketika ia mulai menggali, tiba-tida terdengar bunyi,, Doooooorrrr…., Doooorrr… dua buah peluru pemberontak mengenai dada dan kepalanya. Ia mati seketika. Kemudian, oleh para pemberontak ia dilemparkan ke dalam sebuah sumur di dekat rumah. Demikianlah kisahnya. Mendengar berita itu, ibuku sesak napas dan tiba-tiba pingsan lagi. Kami semua menagis dan tidak tahu berbuat apa. Saat itu aku ingin berteriak tetapi tidak bisa. Suasana diselimuti duka yang mendalam, hanya pasrah, berdoa dan berharap kepada Tuhan. Sekarang aku tidak punya ayah lagi. Harapan kami satu-satunya adalah kakek dan nenek. Mereka masih cukup kuat untuk menjaga kami. Sejak peristiwa itu, kondisi ibu semakin parah. Ia sering sesak napas, batuk dan bahkan sampai pingsan hingga beberapa menit. Kita tidak boleh tinggal diam kata kekek. Kita harus segera pergi dari sini. Maka kesesokan harinya kami mulai mencari jalan keluar. Dengan langkah tertatih-tatih kami menyusuri lembah, sungai dan gunung, akhirnya kami menemukan sebuah jalan tikus. Akhirnya kami sampai pada sebuah desa yang bernama desa Baki Tolas. Desa Baki Tolas adalah sebuah desa di Timor Barat yang masi termasuk wilayah Indonesia saat ini. Kami semua tiba dengan selamat. Walaupun kami tiba dengan selamat dan berjumpa dengan keluarga besar di sana, tetapi rasa duka atas kematian ayah tercinta masi terasa kuat di dada terutama oleh sang ibu. Karena trauma atas peristiwa itu, kondisi kesehatan ibu pun semakin parah. Segala usaha telah kami lakukan demi kesembuhan ibuku, tetapi sepertinya sia-sia. Maka peristiwa duka kami memuncak ketika beberapa minggu kemudian. Ibu tercinta pun akhirnya pergi meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya. Sekarang aku tidak punya siapa-siapa, kemana aku harus pergi????? Dalam kesedihan dan pergumulan batin yang begitu mendalam, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang frater. Eh.. kamu ngapain di sini, Belum tidur ya? Sudah jam 02.15 sekarang, tidurlah! Nanti besok terlambat misa. Ia frater.. jawabku singkat. Lalu dengan langkah pelan aku melangkah menuju kamarku. Apakah semua ini harus berakhir sampai di sini? Tidak. Masi ada masa depan yang telah direncanakan Allah untuk kita. Yesus telah wafat dan bangkit bagiku. Ia telah membebaskan aku dari kesedihan, rasa duka yang mendalam dan kini ia mengenakan padaku suatu sukacita yang tak terhingga. Allahku segalanya, “Deus Meus et Omnia”. (Cerita ini adalah kisah nyata yang dialami oleh: Fr. Jacinto Elu, OFMConv)

CERPEN: Kisah Tak Terlupakan (Oleh: Erick M. Sila)

Saat ini aku merasa kamu tidak jauh lagi dari ku seperti hari-hari kemarin walaupun aku tahu kamu akan pergi lagi. Seminggu saja kita akan bersama. Kamu masih ingat kan sahabatku? Ya, aku berharap kisah yang telah kita lewati bersama, kamu ingat selalu. Tapi aku ragu karena saat itu aku dalam suasana minggu tenang menjelang Ujian Akhir Semester. Saat paling menegangkan bagi semua mahasiswa. Ini bukanlah sesuatu yang gampang tetapi aku percaya, aku bisa. Aku hanya takut kamu kecewa. Akan tetapi aku tidak mau kamu kecewa karena aku. Tapi aku tidak tahu harus dengan cara apa ‘tuk membahagiakan kamu di saat-saat sulit seperti ini. Akan tetapi, aku berjanji untuk membahagiakanmu walau dalam segala kekuranganku. Kamu masih ingat lagu kita kan sahabatku? Itu benar. Bahwa walaupun aku harus lelah dan letih, namun aku lakukan semua ini demi kamu. Aku tak akan berhenti menemani dan menyayangimu walau matahari tak terbit lagi. Demikianlah penggalan lagu dari Wali Band yang juga mewakili kata hatiku saat ini. Akhirnya kisah indah di awal tahun kita tuliskan bersama. Di atas bentangan sang danau yang luas dan di atas gelombang yang berayun lembut aku menuntunmu ke tempat yang lebih dalam. Di sana, ku taburkan cinta di atas birunya hatimu. Di atas gelombang yang berayun lembut, jari-jemariku mulai menari-nari dengan pena cinta di atas lembaran air yang terbentang luas. Lima menit, sepuluh menit, bahkan satu jam, aku memintamu agar kita menyelesaikan kisah ini hingga penutup. Sehingga akhirnya aku dan kamu menemukan kesimpulan akhir bahwa semua karena cinta. Aku memintamu untuk tidak melewatkan satu kisah pun dalam catatan ini. Bahkan aku berharap kisah ini tercipta dari kata-kata yang terindah indah yang telah kita tuliskan bersama sebelumnya. Itu akan menjadi kisah indah dak terlupakan antara aku dan kamu. Jujur saja, aku sangat bahagia bisa bertemu kamu lagi. Semuanya itu telah aku buktikan selama kamu ada di sini. Aku ingin membukktikan kepadamu bahwa rasa sayang ku kepadamu begitu besar. Itu semua terbukti ketika kamu ada di sisiku. Ya, aku merasa tenang dan damai ketika kamu ada di sampingku. Aku ingin kamu selalu ada di sini. Melalui hari-hari besama dan menyusun kisah yang lebih indah. Namun semuanya itu, harus terjadi demi masa depan kita. Kepada kita telah Tuhan berikan buku dan pena untuk menuliskan masa depan kita masing-masing. Walaupun kita berjauhan, namun aku berjanji akan selalu menjagamu walau dari tempat yang jauh. Akhirnya satu demi satu kata, kalimat dan paragraf tersusun dan akhirnya terbentuklah kisah ini. Sebab kata orang “lebih baik tinta yang pudar daripada ingatan yang kabur”. Kisah itu masih aku ingat dengan jelas. Aku ingat saat itu kamu mengatakan kepadaku untuk tetap dan selalu menjadi sahabat terbaikmu selamanya. Aku juga ingat ketika kamu bertanya apakah aku selalu kangen sama kamu. Aku mengatakan bahwa itu benar. Aku selalu merindukanmu di setiap langkah hidupku. Tahukah kamu apa yang ku minta di setiap doa sepanjang hariku? Aku selalu meminta kepada Tuhan agar kamu selalu dilindungi. Sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintai dan menyayangimu sampai kapan pun. Aku tidak akan menuntut lebih dari kamu. Aku hanya ingin agar kamu tetap menjadi sahabat terbaikku selamanya. Aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah manusia biasa yang juga memiliki kekurangan. Akan tetapi, aku akan selalu mencintai dan menyangimu dalam kekurangan-kekuranganku itu. Aku selalu berbangga atas kelemahan-kelemahanku. Sebab dari kelemahanku aku belajar membangun sebuah dasar persahabatan yang kokoh. Sehingga akhirnya kamu menjadi pribadi yang kuat ketika aku tidak ada lagi. Jika suatu saat kita tidak bersama lagi seperti saat ini, aku berharap agar diatas dasar yang kokoh itu, kamu sempurnakan lagi bersama dia. Bersama dia aku berharap agar terbentuk suatu bangunan cinta yang lebih indah dari bangunan cinta kita saat ini. Sebagai kata terakhir kisah ini, aku harus Jujur bahwa, aku sayang kamu, aku bangga memiliki sahabat sepertimu.

CERPEN: Kisah Indah di Awal Tahun (Oleh: Erick M. Sila)

Malam itu, langit kota Medan nampak kelam. Aku tidak tahu mengapa hatiku begitu hampa. Hanya satu yang aku harapkan yakni kehadiranmu di sini saat ini. Malam itu, cahaya rembulan tidak sanggup menepis tebalnya awan hitam di langit. Malam semakin kelam sekelam hatiku. Dalam kehampaan hati yang begitu dalam, sejenak aku bertanya dalam hati “adakah seberkas cahaya indah di depan sana?”. Akhirnya harapan itu menjadi kenyataan. Ketika sang mentari pagi mulai menyingsing, aku merasakan cinta yang luar biasa. Pengalaman ini bukanlah sebuah ilusi melainkan kenyataan. Kenyataan yang membuatku seakan tidak percaya. Aku tidak tahu harus dengan kata atau kalimat apa aku mengisahkannya. Sebab aku sadar bahwa aku bukanlah pujangga dan juga bukan penyair, tetapi aku, aku yang mencoba. Yang mudah tidak dipersulit dan yang sulit dipermudah. Itulah yang mendorong aku untuk mengisahkannya kembali untukmu dan untuk mereka yang megharapkan dan mengidolakan cinta. Untuk memulai kisah indah ini, aku harus jujur kepadamu dan kepada mereka. Ketika itu, aku berpikir bahwa aku tidak akan pernah lagi bertemu denganmu. Ya, pengalaman setahun yang lalu masih ku ingat dengan jelas. Waktu itu, kamu pergi jauh dari ku sejauh timur dari barat. Namun semua itu bukanlah kehendak ku dan juga bukan kehendakmu. Aku yakin kamu juga merasa berat meninggalkanku sejauh itu. Namun semua itu, demi aku dan kamu. Dengan berlalunya waktu akhirnya saat yang tak aku sangka-sangka datang juga. Siang itu aku sangat lelah sehingga aku ketiduran sehingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul 14.04. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar hand phoneku berdering. Dengan cepat aku mengambilnya dari meja di samping tempat tidurku dan mulai membukanya. Aku kaget dan tidak percaya ketika membaca pesan itu. Dalam pesan tersebut kamu memintaku menjemputmu di pintu gerbag rumahku. “Ah…, kamu hanya bercanda saja” demikian pikirku dalam hati. Akhirnya dengan berat hati aku mengikuti perintahmu. Aku keluar dan mengambil sepeda kecilku dari gudang, lalu dengan segera aku menuju ke gerbang untuk membuktikan apakah yang kamu katakan itu benar atau hanya sebuah kebohongan belaka. Waktu itu ada dua pikiran dalam benakku. Pertama, jika itu hannya canda belaka, tidak mengapa. Sebab, aku telah berencana akan pergi dengan sepeda kecilku ke mana saja aku mau. Dan itu telah aku beritahukan kepada Dea adikku. Yang kedua, jika itu benar maka aku akan memelukmu dan mengatan betapa aku merindukan kehadiranmu. Dengan sepeda kecilku aku melaju dari atas. Aku menghentikan sepedaku dengan tiba-tiba sehingga ban belakangnya terseret panjang. Aku tersentak kaget ketika melihat seseorang dengan sosok tubuh begitu indah berdiri mebelakangi arah dimana aku datang. Aku tidak percaya. Aku tidak tahu dengan kata apa harus ku ungkapkan kebahagiaanku saat itu ketika aku mengetahui dan melihat dengan jelas bahwa itu adalah kamu. Karena perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat itu, aku kehilangan kata-kata. Aku tidak tahu mau mengatakan apa kepadamu saat itu. Yang aku rasakan hanyalah kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya dengan langkah santai aku menuntunmu menuju ke rumahku. Ya, rumah dimana kita berbagi cerita di saat kamu masih di sini. Jujur, saat itu aku sangat bahagia karena kamu masih mengingatku dan mengunjungi aku. Aku juga tahu bahwa masih banyak keluarga yang harus kamu kunjungi selama liburanmu kali ini. aku juga tahu bahwa waktu liburan kamu sangat singkat, namun aku bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena kamu masih mengingat aku. Kamu telah berkorban banyak untukku. Korban waktu, korban tenaga dan segalanya demi aku. Lebih lagi, semua itu karena kamu masih mencintai dan menyayangiku seperti yang dulu. Jika tidak, kamu tidak akan datang melihat aku di sini. Aku tidak tahu dengan apa aku harus mebalasnya kepadamu. Yang aku miliki hanyalah cinta dan perhatian. Aku yakin kamu tidak akan menuntut lebih daripadaku selain kedua hal itu. Maka sebelum kamu pergi, sekali lagi ingin kukatakan bahwa aku sayang padamu. Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun. Bahkan bila aku mati, ku kan berdoa pada yang ilahi, agar kita bisa bersama lagi di surga nanti. Aku akan mengingat merindukanmu setiap saat. Terima kasih sahabatku, terima kasih cinta.

CERPEN: November Rain (Oleh: Erick M. Sila)

Judul lagu dari penyanyi rock Guns N Roses, “November Rain” adalah judul yang cocok untuk kisah ini. Kamu ingat nggak? Ini soal peristiwa di malam tanggal 10 November 2011 yang lalu. Etss.. jangan salah! Ini bukan soal hari pahlawan. Walaupun demikian, hari pahlawan tidak boleh diabaikan beitu saja, karena dengan jiwa jiwa pahlawan kita memutuskan hubungan kita secara berani. Keputusan itu layaknya seorang pahlawan yang dengan gagah berani dan rela berkorban demi bangsa yang ia cintai. Ya…, aku masih ingat dengan jelas peristiwa malam itu. Malam yang penuh dengan air mata. Ini bukan ilusi melainkan fakta. Jika kamu lupa akan hari bersejarah itu, di sini aku mengingatkanmu. Malam itu di sini, hujan turun begitu deras menggenangi bumi. Tidak demikian dengan lagitmu di seberang sana. Aku tahu disana tidak hujan seperti di sini. Akan tetapi, kamu menghujani bumi malam itu dengan air matamu. Waktu itu adalah saat-saat terakhir hubungan kita. Kamu meminta padaku malam itu untuk mengakhiri semuah kisah yang telah kita jalani bersama. Ya… kisah cinta yang tulus yang telah kita lalui bersama harus berakhir di sini. Memang benar kata orang…, “di mana ada pertemuan, pasti ada perpisahan di sampingnya, di mana ada cinta, pasti ada sakit hati di sampingnya, di mana ada kebahagiaan, pasti ada duka di sampingnya”. Malam itu, adalah malam yang menyakitkan bagiku. Namun inilah jalan terbaik bagimu dan mungkin juga bagiku. Aku tahu bahwa semua ini kamu lakukan demia aku. Aku tahu kamu mencintai aku dengan tulus, sehingga kamu mengambil jalan ini. Aku iklas jika semua ini membuatmu bahagia. Aku tidak mau kamu sedih sampai meneteskan air mata seperti ini. Akhirnya, semuah kisah cinta yang pernah kita jalani bersama berakhir di sini. Semuanya telah berakhir antara hatiku dan hatimu. Takkan ada rindu sperti yang dulu… syair lagu Ungu Band ini menjadi kesimpulan akhir dari semuanya. Apakah kisah ini akan lenyap selamanya dan hanya tinggal kenangan?
Hari berlalu tahun pun berganti. Maka, kutuliskan kisah ini untuk mengingatmu. Aku berharap suatu saat kamu membacanya dan mengenang kembali kisah kita yang telah berlalu ditelan waktu. Namun aku yakin kekuatan cinta dapat mengalahkan semuanya. Cinta itu tidak begitu saja berlalu. Seperti kata pengkotbah “Air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tidak dapat menghanyutkannya”. Cinta itu masih hidup di hatiku dan kurasakan lebih kuat dari yang sebelumya. Huuuft.. aku bertanya pada Sang Cinta “Apakah dia adalah tulang rusukku?”. Entahlah… semua yang terjadi, Engkaulah yang merencanakannya. “Apakah kamu juga merasakan seperti yang kurasakan sahabatku?” aku bertanya pada sebuah poster yang terpampang indah di dinding kamarku. Poster itu adalah gambarmu yang aku abadikan untuk mengenangmu. Pertanyaan tinggal pertanyaan dan semuanya akan dijawab oleh waktu. Ya… aku yakin. Aku yakin kamu masih mencintai aku. Itu terbukti dari kata-kata atau pesan singkat yang kamu kirimkan padaku. Maafkan aku jika cintaku padamu semakin kuat. Aku juga tidak tahu mengapa itu terjadi. Itulah yang kurasakan di setiap nafasku. Kamu sungguh berbeda dari sekian cewe yang aku kenal. Akan tetapi, ingin ku katakan satu hal kepadamu sebelum aku mengakhiri kisah ini. Satu hal yang ingin aku katakan padamu adalah “aku mencintaimu”. Ya… aku akan selalu mencintaimu sampai aku menutup mata.

CERPEN: LANGITPUN MENANGIS (OLEH: ERICK M. SILA)

“Mungkinkan kita kan slalu bersama Walau terbentang jarak antara kita…?”. Demikianlah penggalan lagu dari Stinky yang juga pernah kamu kirimkan padaku melalui sebuah pesan singkat. Aku tahu bahwa kini kita tidak bersama-sama lagi seperti yang dulu. Jarak dan waktu telah memisahkan kita. Aku juga tahu bahwa kamu benar-benar mencintai aku. Karena begitu dalam dan tulus cintamu padaku sehingga kamu takut kehilangan aku. Tetapi aku mencoba meyakinkanmu bahwa cinta yang tulus tidak akan pudar walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu. Kamu selalu ada di hatiku. Tetapi apakah kamu kuat dan sabar dengan keadaan ini? Entahlah… aku tidak tahu. Waktulah yang akan menjawab semuanya itu. Hari berlalu bulanpun berganti. Seperti biasanya kita melewati hari-hari dengan saling berbagi cerita. Semuanya terasa indah dikala kita saling terbuka. Kamu terbuka mengatakan padaku tentang perasaanmu. Kamu mengatakan padaku bahwa aku terlalu sempurna bagimu. Aku tidak percaya, namun itulah perasaanmu terhadap aku. Aku tidak bisah menyangkalnya karena akupun sendiri tidak tahu tentang diriku sendiri. Yang aku tahu tentang diriku adalah bahwa aku benar-benar mencintaimu. Itu saja tidak lebih. Selebihnya orang lainlah yang menilai, dan mengetahui siapa atau apa arti hadirku bagi mereka, terutama hadirku bagimu. Enam bulan telah berlalu. Semua kenangan pahit dan manis bersamamu selalu terbayang di benakku. Ketika aku kangen padamu, aku mengambil sebatang lilin dan mulai berdoa semoga Tuhan senantiasa melindungimu. Aku juga tidak lupa menelepon kamu jika aku benar-benar tidak sibuk. Suara manjamu adalah obat mujarab bagi rasa kangenku. Malam itu aku mendengar suaramu begitu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Suaramu kedengaran begitu berat; nampaknya kamu lagi sedih. Ternyata dugaanku benar. Aku tidak tahu mengapa kamu begitu sedih malam ini. Ketika aku mendesakmu beberapa kali, akhirnya kamu mau mengatakan yang sebenarnya. Kamu mengatakan padaku bahwa kamu merasa berat jika kita terus bersama. Malam itu kamu meminta padaku agar kita mengakhiri semua kisah kita. Jujur… aku sangat sedih mendengarnya. Tetatapi apa boleh dikata? Aku juga tidak tahu apa yang membuatmu mengakhiri semua dengan begitu cepat. Padahal aku tidak pernah melakukan kesalahan yang membuatmu kesal dan marah padaku. Tetapi di saat itu aku sadar dan aku ingat akan apa yang pernah aku katakan padamu dulu. Aku mengatakan padamu waktu itu bahwa aku mencintai kamu karena kamu adalah kamu. Itulah cinta tanpa syarat. Aku iklas jika itu adalah keputusanmu. Aku juga sadar bahwa mungkin bukan aku yang menjadi pilihan hatimu. Langitpun menagis malam itu. Di luar hujan turun begitu deras. Saat itu kamu menangis sehingga membuatmu tidak sanggup berbicara. Akupun bingung mau mengatakan apa pada saat itu. Aku hanya mengatakan bahwa jika berat bagimu mencintai aku sebagai seorang kekasih, cintailah aku sebagaimana kamu mencintai kakak atau abang kandungmu sendiri. Itulah yang aku katakan padamu malam itu. Tetapi kamu mengatakan padaku bahwa itu berat buat kamu. Akan tetapi aku mencoba meyakinkanmu bahwa kamu pasti bisah. Itulah pilihanmu jadi kamu juga harus bisah melupakan aku. Jujur… aku mengatakan hal ini dengan berani walaupun aku sendiri harus terluka karena keputusan itu. Ya, aku melakukan hal ini hanya agar kamu bahagia. Aku menghargai keputusanmu untuk mengakhiri semua ini. Aku juga tidak tahu apa sebab dari semua ini. Mungkin ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Kamu masih menangis sehingga aku memohon padamu untuk menghentikannya. Aku meminta padamu untuk menenangkan diri agar kita dapat menyelesaikan masalah ini dengan baik. Aku tidak mau kamu membenci aku gara-gara cinta. Aneh bukan?? Ya, karena cinta itu sendiri adalah baik. Cinta tidak boleh memaksakan kehendak pribadi. Cinta harus rela berkorban tanpa syarat. Suatu hubungan persahabatan yang dimulai dengan cinta harus diakhiri juga dengan cinta yakni cinta yang tidak menuntut balasan. Malam itu kita sampai pada suatu kesepakatan bahwa hubungan kita hanya sebatas sahabat biasa. Tidak lebih dari itu. Sebagai kata terakhir kamu mengucapkan terima kasih kepadaku atas peristiwa-peristiwa indah yang pernah kita lalui bersama. Kamu mengatakan padaku bahwa kamu akan mengenang semua itu sepanjang hidupmu. Sebagai kata terakhir kepadamu, aku juga mengucapkan terima kasih atas ketulusan dan perhatian yang kamu berikan padaku selama kita masih bersama. Aku berharap persahabatan kita tetap abadi. Aku hanya meminmya satu hal saja padamu sebagai permintaanku yang terakhir. Aku meminta agar kamu membalas SMS-ku atau mengangkat teleponku apabila aku menanyakan kabarmu. Kamu setuju dengan permintaanku. Oya, kamu juga meminta padaku bahwa untuk beberapa hari ke depan, kita tidak boleh saling kontak. Alasannya adalah bahwa biarlah kita menenangkan pikiran kita masing-masing. Itulah yang kamu katakan padaku sebelum kamu mematikan teleponnya. Tidak terasah satu minggu berlalu. Jujur, satu minggu bagiku adalah satu tahun jika tidak ada kabar dari kamu. Aku kangen padamu. Aku kangen dengar suaramu. Apakah kamu juga merasakan hal yang sama seperti aku? Aku merasah bahwa kamu masih seperti yang dulu bagiku. Ya., apa boleh buat, karena semua itu terjadi bukanlah kesalahanku dan bukan juga keputusanku. Jadi jujur saja aku tidak merasa kehilangan kamu sama sekali. Kamu masih ada di hatiku seperti yang dulu. Tetapi walaupun demikian, aku mencoba untuk tidak menanyakan kabar kamu. Aku tahu bahwa hal itu hanya membuat aku menderita tetapi aku juga tidak mau berharap lebih. Itulah janji yang harus aku tepati. Memang benar bahwa semakin keras kita menjaga hubungan, semakin sukar juga bagi kita untuk melupakannya. Satu bulan telah berlalu. Dalam setiap pesan singkat yang kamu kirimkan padaku, kamu selalu mengatakan bahwa kamu kangen padaku. Aku akui itu karena aku sendiri telah membuktikannya. Akan tetapi, kemarin kamu mengatak kepadaku bahwa kamu telah mempunyai kekasih yang baru. Kamu mengatakan padaku bahwa hubungan kamu bersamanya sudah sejak satu bulan yang lalu. Ketika mendengar itu aku senang, tetapi juga sedih karena perhatianmu akan berkuarang buat aku. Perhatianmu padaku tidak akan seperti yang dulu lagi. Aku masih ingat ketika kamu mengatakan hal itu padaku. Kamu bertanya padaku apakah aku sakit hati mendegar hal itu? Tidak. Aku tidak sakit hati dan juga tidak marah padamu. Aku malah senang karena kamu telah menemukan kekasih hatimu yang baru yang mungkin lebih baik dari aku. Aku akui bahwa aku bukanlah siapa-siapa di matamu. Kamu juga mengatakan padaku waktu itu bahwa sayangmu padaku lebih besar dari pada untuk dia. Huuuft… aku menarik nafas panjang ketika mendengar itu. Aku bertanya pada diriku, “mengapa kamu begitu sayang kepadaku?”, padahal kita tidak memiliki hubungan apa-apa lagi selain sebagai sahabat biasa. Tetapi aku bersyukur atas semuanya itu. Itu semua adalah anugerah dari cinta terindah. Terima kasih sabatku, terima kasih cinta. Terima kasih karena kamu mau mencintai aku dengan tulus sebagai sahabatmu. Semoga persahabatan kita bertahan selama-lamanya. Kamu adalah yang terbaik bagiku. DARI SEMUA HAL YANG DIANUGERAHKAN OLEH KEBIJAKSANAAN TIDAK ADA YANG LEBIH BESAR DAN LEBIH BAIK DARIPADA PERSAHABATAN (Pietro Aretino)

CERPEN: HARI YANG INDAH (OLEH: ERICK M. SILA)

Tadi pagi aku dikejutkan oleh kamu ketika aku hendak ke ruang sekertariat. Aku terpesona dengan ucapan selamat pagi darimu. Dari bibirmu yang tipis berwarna merah keluar kata itu dengan tulus dan ramah. Dipadu dengan pakaian yang serasi menampakkan suatu daya tarik tersendiri. Sungguh aku terpesona dengan gayamu hari ini. Aku sadar bahwa cinta itu tidak seharusnya dilihat dari penampilan tetapi aku suka dengan gayamu itu. Aku mencintai kamu karena kamu adalah kamu. Ini adalah keunikan yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap orang. Namun sayang terkadang kita tidak menyadari itu. Bel berbunyi menandakan bahwa jam sekolah hari ini berakhir. Aku tidak sadar hari berlalu begitu cepat. Akupun beranjak meninggalkan ruangan kelas untuk mengembalikan buku absensi ke ruang sekertariat. Saat itu aku melihatmu telah menungguku di pintu gerbang kampus. Segera setelah aku mengembalikan buku absensi, aku segera menghampirimu. Aku takut kamu sudah lama menunggu. Seperti biasanya mkita selalu pulang sekolah bersama-sama. Aku bahagia hari ini. Aku merasakan cinta itu mengalir dan kurasakan itu sungguh anugerah Tuhan yang luar biasa. Tuhan, terima kasih atas segala cinta dan perasaan baik yang aku terima dari orang-orang yang kepada mereka Engkau percayakan cinta itu. Tuhan, tambalah selalu cintaku. Agar dengan itu, akupun mampu mencintai semua orang sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Dalam suasana penuh syukur atas peristiwa-peristiwa indah yang aku alami hari ini, tiba-tiba kamu menelepon aku. Apakah kamu merasakan seperti yang aku rasakan saat ini? Owh.. entahlah. Kamu ingin mengajak aku jalan-jalan besok. Aku sangat senang mendengarnya dan aku setuju dengan ajakan itu. Hari ini adalah hari adalah hari sabtu. Seperti biasanya, kami tidak ada jam perkuliahan ataupun kegiatan lain di kampus. Maka aku memutuskan untuk menemanimu hari ini. Aku akan selalu setia menemanimu ke mana saja kamu mau. Hari ini udara terasah sejuk, langit nampak biru dengan sedikit awan berpadu dalam satu bingkai sang pencipta. Alam hari ini seakan mengerti tentang kita, ia menyediakan menyediakan segala yang indah bagi manusia. Ini sungguh luar biasa. Dengan langkah santai kita beriringan menelusuri sebuah taman yang indah penuh dengan bunga. Saat itu kamu mengatakan padaku bahwa taman ini sangat indah. Kamu mengatakan bahwa jika waktu mengijinkan kita, kita pasti akan ke sini lagi. Aku mengiakannya, tetapi aku juga tidak tahu kapan waktu itu. Engkau juga mengatakan kepadaku bahwa seandainya setiap orang menjaga alam seperti taman ini, pasti hidup manusia terasah indan penuh cinta. Seperi bunga-bunga di taman ini yang senantiasa memberikan senyum terindah tanpa memandang buluh di antara para pengunjung yang datang. “Bukankah begitu sayang…?”. Kamu bertanya padaku. Itu benar sayang. Seandainya semua manusia di bumi ini memiliki jiwa kasih dan tangan-tangan ramah seperti para karyawan di taman ini, aku yakin tidak akan ada bencana menimpa bumi kita. Tetapi sayang, manusia sungguh egois. Ia merusak kelestarian alam seenaknya saja demi kepuasannya sendiri. Perbincanganku bersamamu di siang hari itu terasah amat menyenangkan sehingga tidak sadar hari sudah mulai sore. Aku mengatakan kepadamu bahwa sudah saatnya kita pulang dan tanpa banyak kata kamupun setuju. Saat itu aku melihat wajahmu tampak begitu bahagia. Aku masih ingat ketika aku mengantarkanmu kembali ke rumah. Waktu itu kedua orang tuamu sangat senang karena aku telah menjagamu dengan baik. Waktu itu kamu mengatakan kepadaku bahwa kamu sangat berterima kasih karena telah menemani dan menjagamu sepanjang hari ini. Kamu berharap hari ini bisah terulang lagi di lain waktu. Sekali lagi kamu mengatakan padaku bahwa kamu sangat bahagia hari ini. Kamu melambaikan tangan padaku sebelum kamu memasuki rumahmu. Setelah melihatmu menghilang di balik pintu, akupun mulai melangkahkan kaki menuju rumahku dengan perasaan senang dan bahagia. Aku bersyukur kepada Tuhan atas segala cinta, perasaan bahagia yang Tuhan berikan padaku hari ini. Hari ini berlalu dan malampun tiba. Aku melihat dari kaca jendela kamarku bulan purnama bersinar begitu cerah. Saat itu aku bertanya dalam hatiku “apakah malam ini Tuhan berikannya juga kepadaku?”. Mmm… aku yakin demikian. Tetapi, “sanggupkan aku membagikan kebahagiaan ini kepada orang lain?” sekali lagi aku bertanya pada diriku. Melaui pengalaman hari ini, aku ingin menjadi pembawa damai dan cinta bagi sesamaku. Aku tidak bisa. Tetapi aku yakin, bersama-Mu aku bisah Tuhan. Semua karena-Mu. Lalu aku mengambil sebatang lilin dari laci meja belajarku. Aku menyalakannya dan mulai berdoa. Semua Karena-Mu Di keheningan malam nan sepi Di hadapan-Mu aku tersungkur sedih Terasah hati tersayat pedih Mengenag masa-masa yang keruh Sadarkan aku manusia yang rapuh Agar aku tak sampai runtuh Jadikan aku manusia ampuh Agar aku tidak menjadi angkuh Bertekat hati tetap setia Ke mana pergi selalu setia Jadikan aku sebagai media Pewarta bahagia di tengah dunia Meski aku masih belia Ku parcaya pada-Mu yang mulia Bergemah kidung pujian gloria Terasah hidup amat meriah Meskipun hidup penuh bisa Kamu bersamaku aku bisah Walau gelombang dasyat berbusah Engkau mengangkat aku tak basah Jadikan aku pembawa damai Di tenga dunia yang semakin ramai Agar aku tak menjadi lalai Di tengah dunia yang semakin santai Aku ada karena-Mu Aku bisah karena-Mu Aku kuat karena-Mu Semuanya karena-Mu Tiba-tiba aku dikejutkan oleh adikku yang sedang mencari-cari mainannya. Aku baru sadar bahwa tadi aku telah berjalan begitu jauh ke belakang. Ternyata itu hanyalah sebuah kenagan masa lalu yang hadir kembali dalam khayalanku.

CERPEN: ADA APA DENGANMU ??? (OLEH: ERICK M. SILA)

Semalam kamu mengirim sebuah pesan singkat kepadaku. Kamu memanggilku dengan begitu ramah….”abangku”, demikianlah isi pesan yang aku terima dari kamu. karena tugas kuliah yang akan dipresentasekan dihadapan teman-teman sekelasku tinggal satu hari lagi maka mencoba menyelesaikannya. itulah alasan mengapa aku tidak menanyakan kabar kamu hari ini. Tapi percayalah sayangku, kamu selalu ada di hatiku sampai kapanpun. Tetapi aku berjanji untuk meneleponmu malam nanti. “Hai dik, gimana kabar kamu?”. Hai juga bang, tumben sms aku, masih ingat ya sama aku?”. Demikianlah bunyi sms yang aku terima dari kamu. Jujur, ketika membaca pesan kamu, aku kaget penuh tanda tanya di hatiku. Apakah kamu hanya bercanda atau ini adalah ungkapan rasa kangenmu kepadaku yang tidak aku ketahui. Untuk memastikan perasaanku itu, aku memutuskan untuk meneleponmu. Tapi sayang, nomor kamu lagi sibuk. Setelah menunggu beberapa menit, aku mencoba meneleponmu lagi. Dari seberang sana aku mendengar suaramu tidak seramah dan semesra dulu. “Ada apa denganmu?” aku menjadi bingung… “Apakah salahku padamu?” aku tidak marah, dan memang itu bukan tipeku. Pagi tadi sebelum aku berangkat ke kampus, aku masih sempat mengucapkan selamat pagi untukmu dengan harapan segala aktivitasmu berjalan dengan baik dan diberkati oleh Tuhan di hari ini. Dan itulah yang aku lakukan setiap pagi untukmu. Inilah bentuk perhatian yang bisah aku lakukan untukmu. Sebab tidak ada acara lain yang mungkin karena jarak dan waktu memisahkan kita, engkau jauh di sana dan aku disini. Namun sayang, terkadang kamu tidak menyadari itu. Jujur…aku kecewa padamu. Kamu tidak mengerti tentang rasa ini. Tentang apa yang aku rasakan. Aku masih ingat kamu pernah bilang kepadaku bahwa kamu tidak akan sms aku jika aku belum mendahuluinya”. Aku bertanya dalam hatiku apakah ini yang dinamakan cinta sejati? Tentu tidak. Cinta sejati adalah cinta yang tidak berat sebelah. Cinta sejatih adalah tanpa syarat, ia mengalir dari hati diberikan dengan bebas tanpa paksaan dan tekanan apapun. Maka aku memutuskan untuk menyatakan hal ini kepadamu. Telepon berdering dan kamu mengangkatnya. “hai bang, ada apa?” aku mendengar suaramu begitu lembut dan dan manis dari seberang sana. Oh…seandainya saat ini kamu di sini, aku akan memelukmu dan menyatakan bahwa aku mencintaimu. Namun sayang, kita dipisakan oleh jarak dan waktu. “Ooo…..tidak apa-apa de, aku hanya ingin mengetahui kabar kamu. Tapi ada lho yang mau aku tanyakan padamu”. “Tentang apa bang?, aku mendegar suara halus itu berbisik dengan lembut dari seberang. “Kenapa shi abang bertanya seperti itu?”. Kamu balik bertanya kepadaku. “ow… aku hanya ingin tahu saja, apakah kamu benar-benar mencintai aku?, “tidak tahu bang, aku bingung”, jawabmu singkat. Cerita akhirnya berakhir dan aku tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari kamu. Aku masih ingat disiang itu kamu mengirimkan sebuah pesan untukku. Dalam pesan itu kamu memohon kepadaku agar aku melupakanmu dengan alasan, kamu takut jika aku terlalu mencintaimu, dan akhirnya terluka karena cinta itu sendiri. Baiklah, aku akan mencobamelupakanmu. Tetapi ketika aku mencoba melupakan hal itu, kamu semakin perhatian kepadaku. Jujur, aku tidak bisah. Aku mencintaimu sampai kapanpun, sampai aku menutup mata, ada apa denganmu? Cinta. Ya, cinta itulah jawabannya. By silla. CINTA TERASA SANGAT INDAH TETAPI SANGAT SULIT BILA DITANYA MENGAPA??

CERPEN: KADO YANG TERINDAH (ERICK M. SILA)

Hari ini aku memutuskan untuk tidak menelepon atau mengirim pesan singkat untukmu. Aku tahu bahwa kamu akan berulang ulang tahun besok. Aku ingin memberikan sebuah kejutaan kepadamu jam 00.00, malam nanti. Aku berharap kamu juga ingat akan ulang tahunmu dan mudah-mudahan kamu tidak tidur lebih cepat malam ini. Aku ingin menjadi orang pertama yang memberi ucapan selamat ulang tahun untukmu kali ini, sebab inilah ulang tahun pertama kalinya ketika aku mengenal kamu. Di balik semunya itu, aku telah menyiapkan sebuah surprise yang sangat sederhana, namun aku yakin kamu tidak akan melupakannya sepanjang hidupmu. Ya, aku yakin kamu akan terkejut dengan surprise itu. Hallo.. ah, aku mendengar suara mu berat menahan kantuk, tapi maaf aku mengganggumu sayang… aku rindu sekali berdoa bersamamu malam ini. Aku mendengar dari seberang sana suaramu sepertinya menyiratkan sejuta tanda tanya di hatimu. Kamu tentu bertanya-tanya, apa gerangan aku mengajakmu berdoa bersama ditengah malam seperti ini. Tetapi kamu mengiakannya saja walaupun masih tersimpan sejuta tanda tanya di hatimu. Dalam kebigunana yang masih kamu rasakan, aku mohon padamu tinggalkan itu sejenak. Aku hanya menginginkan agar doa itu benar-benar tulus kepada Tuhan. Di keheningan malam yang indah, tenang dan damai doa itu mulai berkumandang. Pelan tapi pasti. Ini adalah doa yang tulus dari hatiku yang paling dalam dan aku yakin Tuhan pasti mendengarkan doaku. Aku mendengarmu menarik napas panjang dan mungkin kamu terkejut ketika aku mulai menyebutkan isi intensi doaku malam itu. Dalam intensi doaku, aku mohon kepada Tuhan agar memberikan perlindungan, umur panjang dan kesusksesan untukmu pada peristiwa penting yang kamu alami hari ini. Setelah doa berakhir engkau mengatakan kepadaku bahwa kamu sangat terharu. Kamu sangat bahagia karena inilah pertama kali kamu alami di ulang tahunmu. Terima kakasih abangku, demikinlah kata yang bisa kamu ungkapkan padaku saat itu. Engkau menyatakan kepadaku bahwa kamu tidak tahu harus dengan apa kamu membalas segala kebaikanku kepadamu. Aku hanya menyatakan “berterimaksihlah kepada tuhan sebab Dia adalah sang cinta”, sebab hanya Dia, kepada Dia, dan dari Dia sajalah cinta itu mengalir. Aku meyakinkan kamu bahwa cinta yang kumiliki adalah dari Tuhan. Oleh karena itu, aku harus membagikannya kepada siapa saja tanpa syarat. Atas dasar itu, dan pada ulang tauhunmu hari ini aku mau mengatakan atas nama kejujuran bahwa aku sayang kamu. Akhirnya mulai kamu sadar; kamu menyatakan kepadaku malam itu bahwa ini adalah kado yang paling indah yang kamu terima sepanjang sejarah ulang tahunmu. Ternyata kado ulang tahun yang aku bayangkan dari kamu selama ini salah total. Aku membayangkan bahwa mungkin kamu akan memberikan kepadaku sebuah boneka yang cantik atau sebuah jam tangan yang manis. Ternyata aku salah. Namun apa yang kamu berikan kepadaku di ulang tahun ku kali ini sungguh luar biasa. Lebih berharga dari yang pernahku terima sebelumnya”. Demikinlah curahan hatimu padaku malam itu. Terimakasih Tuhan, terima kasih cinta. SEMUA KARENA CINTA DAN DARI SANG CINTALAH CINTA ITU MENGALIR. CINTA MEMBUAT SEGALANYA MENJADI INDAH TETAPI CINTA JUGA TERKADANG MENYAKITKAN JIKA CINTA ITU SENDIRI TIDAK MAMPU MEMPERSATUKAN PERBEDAAN YANG ADA

FILSAFAT: PAHAM EPIKURIANISME (Oleh: Erik M. Sila)

ABSTRAKSI Periode setelah Aristoteles, muncullah sebuah zaman baru yang disebut jaman hellenisme. Periode ini diawali oleh kepemimpinan Alexander Agung di Makedonia (334-323). Semangat Hellenisasi Alexander Agung, memicu lahirnya berbagai macam aliran filsafat yang menawarkan pemahaman rasional atas situasi pada masa itu, sekaligus mengajarkan cara mencapai tujuan dan cita-cita hidup manusia, yaitu kebahagiaan. Epikurianisme adalah sebuah aliran filsafat yang lahir pada masa ini. Inti ajaran Epikuros yakni memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Tujuan hidup manusia adalah (hedone) kepuasan, kenikmatan yang dimaknai lewat penderitaan, demi kehidupan yang kekal. I. Pendahuluan Setelah Aristoteles (322/1) filsafat Yunani tidak banyak mengalami perubahan yang luar biasa. Pokok-pokok persoalan yang dibahas hanyalah pengulangan dari apa yang telah dikemukakan oleh para filsuf sebelumnya. Tidak ada filsuf yang berhasil menggali dan menghasilkan sebuah pemikiran yang gemilang kecuali Plotinos. Periode setelah Aristoteles memang memiliki kekhasan tersendiri bila dibandingkan dengan zaman sebelumnya. zaman baru tersebut dimulai oleh kepemimpinan Alexander Agung (334-323), yang mengubah secara radikal wajah bumi di wilayah Laut Tengah sampai ke India. zaman baru ini disebut zaman Hellenisme. Pada periode ini, terjadi peralihan pemikiran filsafat, yaitu dari filsafat teoretis menjadi filsafat praktis. Epikuros adalah salah satu tokoh pemikir filsafat yang terkenal pada masa ini. Inti ajarannya ialah menyangkut kebijaksanaan hidup, yakni memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Kebijaksanaan dalam memilih keinginan yang dapat memberikan kenikmatan yang berlangsung lama adalah seni hidup. Orang yang bijaksana akan lebih mengutamakan kenikmatan rohani daripada kenikmatan duniawi, walaupun harus mengalami penderitaan. Ajaran Epikuros memiliki kesamaan dengan cara hidup kaum monastik. Bahkan ajaran Epikuros memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan religius dewasa ini. Kesamaan akan cara hidup kaum religius inilah yang mendorong penulis untuk membahas secara khusus tokoh ini. II. Doktrin Epikurian Epikuros lahir di Samos 342 SM. Ia mendapat pendidikan di Athena. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Demokritos. Meskipun demikian ajarannya memiliki banyak kemiripan dengan ajaran Stoa. Epikuros sebenarnya tidak tertarik dengan metafisika, ia bermaksud memberikan kebahagiaan kepada manusia. Fisika Epikuros merupakan jalan yang mempersiapkan dia masuk ke dalam etikanya. A. Logika dan Fisika Menurut Epikuros sumber pengetahuan manusia adalah pengalaman. Segala sesuatau yang sering dialami dapat mengakibatkan pengertian akan sesuatu yang mendasar dan mendalam. Menurut Epikuros tidak ada sesuatu yang ada dalam alam semesta ini, yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak ada; dan kemudian musnah menjadi tidak ada. Yang ada adalah kekal. Dasar dari semuanya itu adalah atom. Semua benda tersusun dari atom-atom yang telah ada sejak kekal bersama-sama dengan ruang kosong. Atom-atom ini sangat kecil, sehingga tidak dapat diamati oleh panca indera. Semua atom bergerak. Karena berat, semua atom bergerak dari atas ke bawah, sehingga seolah-olah seperti hujan atom. Tetapi kemudian terjadi ketidakteraturan diantara atom-atom tersebut, sehingga mengakibatkan pertabrakan dan penimbunan atom-atom. Gerak atom-atom tersebut berpengaruh satu terhadap yang lain. Kejadian ini menyebabkan adanya gerak, yang lebih berat bergerak ke tengah, sedangkan yang lebih ringan dilontarkan ke pinggir. Demikianlah alam semesta ini terbentuk, dan peristiwa ini tidak ada hubungannya dengan dewa-dewa. Jiwa manusia terdiri dari atom juga, yaitu atom yang bulat dan licin, sehingga manusia dapat menangkap pengertian yang dipancarkan oleh benda lain yang sama dengan dia. Dengan demikian manusia memperolah gagasan dan pengertian dari benda tersebut. Jiwa hidup di dalam badan, sehingga tanpa badan jiwa tidak mungkin hidup. B. Etika Dalam etikanya Epikuros ingin memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Hal ini disebabkan karena ketidaktenangan batin manusia atas tiga hal yaitu ketakutan atas murka para dewa, takut akan kematian dan takut akan nasib. Padahal perasaan takut itu sebenarnya tidak masuk akal. Dewa-dewa tidak mempunyai peranan dalam menciptakan alam semesta. Oleh sebab itu, kita tidak perlu takut kepada mereka, di dalam alam semesta ini segala sesatu tercipta oleh karena gerak atom-atom. Para dewa tidak akan mengganggu manusia. Mereka menikmati kebahagiaan kekal yang juga tidak dapat diganggu oleh siapa pun. Segala kejadian di dunia ini ditentukan oleh gerak atom. Bagaimanapun usaha kita, kita tidak dapat mengubahnya. Setelah kematian, jiwa manusia dilarutkan kembali dalam atom-atom sehingga kembali kepada asalnya. Oleh karena itu tidak ada hukuman di akhirat. Setelah orang mati tidak ada kenikmatan dan hukuman apapun. Maut bukanlah sesuatu yang menakutkan dan bukan juga menggembirakan. Selama manusia masih hidup ia tak akan mati, sebab apabila kita mati kita tak ada lagi. Juga untuk nasib, kita tidak perlu takut, sebab tidak ada nasib. Tujuan hidup manusia adalah (hedone) kenikmatan, kepuasan. Kenikmatan dan kepuasan akan terpenuhi jikalau segala keinginan terpenuhi sehingga tidak ada lagi keinginan akan sesuatu. C. Hedonisme Aliran ini mengajarkan bahwa dalam menjalani hidup di dunia yang serba tidak menentu ini, manusia harus bertindak bijaksana dalam mengendalikan hasrat dan keinginannya. Dalam hal ini Epikuros menekankan bahwa dewa-dewa tidak mempunyai peranan sedikitpun. Kehadiran Epikurian dianggap sebagai suatu aliran yang menarik karena dapat membuat hidup manusia menjadi lebih realistis: tidak perlu memikirkan tentang Tuhan, hidup setelah kematian, perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana menjalani hidup hari ini. Epikuros bukanlah orang yang ateis tetapi dalam hal ini peranan dewa-dewa tidak ada. Mereka mengurus dirinya sendiri, sehingga tidak peduli degan apa yang dilakukan manusia. Dewa-dewa tidak akan menyusahkan manusia dan juga tidak datang menolong jika manusia memohon kepadanya. Maka percuma saja manusia menyembah dewa-dewa; sebab tidak ada penghakiman dan hukuman setelah kematian. Jadi manusia tidak perlu takut kepada kematian?. Inti ajaran Epikuros mengenai etika adalah memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada manusia. Namun hal ini salah diartikan oleh manusia dewasa ini, yakni dengan mengartikan hedone secara harafiah. Apakah kesenangan itu? Banyak orang mengatakan bahwa kesenangan itu adalah cinta (love), materi (material), dan kedudukan (power). Apakah semuanya itu akan menjamin kebahagiaan manusia selamanya? Tidak, sebab semuanya itu tidak dapat memberikan kebahagiaan yang bersifat kekal, melainkan hanya bersifat sementara. Dalam hal ini, kita perlu bertindak bijaksana dalam memenuhi dan menghindari kesenangan-kesenangan yang membawa penderitaan; atau perlu mengalami penderitaan tertentu demi kebahagiaan kekal dimasa depan. Epikuros mengatakan bahwa pada kodratnya kesenangan adalah baik, sebaliknya penderitaan adalah buruk. Tetapi kesenangan bisa mendatangkan penderitaan serta sebaliknya penderitaan bisa mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan. Orang bijak tahu artinya seni hidup, bagaimana ia dapat memenuhi keinginan yang dapat memberikan kenikmatan yang mendalam dan berlangsung lama, sekalipun harus melewati penderitaan-penderitaan. Kaum Epikurian tidak mengajarkan hedonisme berlebihan melainkan mengajarkan suatu kehidupan yang tenang dan damai. Jalan keselamatan yang diajarkan adalah suatu asketisme moderat, dengan pengendalian diri dan independensi. Ketenangan batin diperoleh apabila segala keinginan batin dipuaskan. Maka, apabila semakin sedikit keinginan seseorang akan semakin besar kebahagiaan yang dirasakan, dan sebaliknya apabila semakin banyak keiginan seseorang akan semakin banyak penderitaan yang akan ditanggungnya. Oleh karena itu, orang wajib membatasi segala keinginannya. Di sisi lain, penderitaan pada waktu tertentu dipandang sebagai jalan menuju kebahagiaan kekal. Gagasan ini yang kemudian mendapat perhatian yang lebih, dalam pewartaan Kristen mengenai makna penderitaan dan salib yang harus ditanggung demi kebahagiaan hidup yang kekal. D. Tanggapan Dalam sejarah filsafat, Epikurianisme dipandang jelek dari banyak pihak. Hal dapat dilihat dari ajaran Epikuros yang mengatakan bahwa: hidup itu realistis, nikmatilah hidup sebab besok kamu akan mati. Artinya, tidak perlu berpikir jauh-jauh, jangan takut kepada kematian, nikmatilah hidup ini, bersikaplah realistis dalam hidup sejauh itu positif dan dapat memberikan kebahagiaan. Hedonisme Epikurian dianggap memberikan ajaran yang sesat, sebab lebih mementingkan kenikmatan jasmani daripada kenikmatan rohani. Namun, hal ini tidaklah tepat seperti anggapan banyak orang. Copleston mengatakan bahwa “Filsafat Epikurianisme bukanlah filsafat para pahlawan serta tidak memiliki keagungan moral kepercayaan Stoa. Namun, ia bukan egois dan tidak asusila sebagaimana anggapan orang”. Epikurianisme ingin memberikan kebebasan serta ketenangan batin kepada manusia atas ketakutan-ketakutan yang membelenggunya. Akan tetapi, justru disitulah ajaran Epikuros dan kawan-kawanya dianggap kurang memadai. Apakah manusia sanggup manemukan kebahagiaan di tengah-tengah dunia yang diliputi dengan perang seperti dunia dewasa ini? Sikap-sikap moral yang paling mendasar seperti tanggung jawab, kewajiban, keadilan serta sikap rela berkorban demi sesama manusia tidak diajarkan dalam etika Epikuros. Apakah kebahagiaan seperti yang diajarkan oleh Epikuros dapat tercapai kalau manusia hanya bersikap munafik dan menutup diri terhadap tanggung jawab bersama? Itukah kebahagiaan yang dimaksudkan oleh Epikuros? Manusia harus membuka diri, menyadari akan keterbatasannya serta menjadikan dirinya sebagai berkat bagi sesama. Kita harus menyadari bahwa kita membutuhkan orang lain dalam hidup kita, dan sebaliknya orang lain juga membutuhkan kita dalam hidup mereka. Ajaran Epikuross bukanlah suatu ajaran yang jahat. Namun ajarannya khususnya mengenai kemanusiaan terlalu sempit untuk menjelaskan arti kebahagiaan yang sesungguhya. III. Penutup Ajaran Epikuros bukanlah suatu aliran yang sesat. Ia hanya ingin memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Hal ini dapat dimengerti dari konteks masyarakat Yunani pada waktu itu. Mereka memiliki ketakutan yang besar kepada dewa-dewa. Menurut Epikuros ketakutan-ketakutan seperti inilah yang menghalangi manusia untuk menikmati kesenangan dan kebahagiaan hidup. Etika Eopikurian bertujuan mengarahkan manusia kepada kenikmatan atau kepuasan (hedone). Makin sedikit keinginan seseorang semakin banyak kebahagiaan yang ia peroleh; dan sebaliknya semakin banyak keinginan seseorang semakin besar penderitaan yang akan ditanggungnya. Oleh sebab itu, setiap orang harus berusaha meminimalisir segala keinginannya sehingga, ia dapat mencapai kebahagiaan sempurna, meskipun harus mengalami penderitaan-penderitaan tertentu. Bagi orang Kristen penderitaan dan salib adalah jalan yang harus dilalui oleh setiap orang untuk mencapai kebahagiaan yang kekal. Misteri penderitaan dan salib inilah yang kemudian menjadi inti dari warta keselamatan. Pemahaman demikian telah dimulai dan dihidupi oleh kaum monastik sejak abad pertama Gereja. Epikuros mengatakan bahwa, dalam ketenangan batin yang bersifat rohanilah terletak kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan itu, kita harus meminimalisir segala keinginan sehingga tidak mendatangkan banyak penderitaan. Di sisi lain, kita harus mengalami penderitaan tertentu agar kita dapat mencapai kebahagiaan kekal. Mengenai arti penderitaan Yesus pernah bersabda: “barang siapa yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24). Jadi, setiap orang yang mau mengikuti Yesus, ia harus menderita sebagaimana Ia telah menderita dan wafat, bahkan sampai wafat di salib. DAFTAR PUSTAKA Bbrouwer, M. A. W dan Heryadi. Sejarah Filsafat Modern dan Sezaman. Bandung: Alumni, 1986. Edwards, Paul (ed.). The Encyclopedia of Philosophy. New York – London: Macmillan Publishing Co., Inc. & the Free Press – Colier Macmillan Publishers, 1967. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat barat, Jilid 1 . Yogyakarta: kanisius, 1980. Magnis, Frans – Suseno. 13 Tokoh Etika: Sejarah Zaman yunani Sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius 1997. Poedjawijatna, I. R. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Bina Aksara, 1986. Tinambunan, Laurentius. “Filsafat Hellenisme dalam Pewartaan Kristen”, dalam logos. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 2008.